Minggu, 02 Maret 2014

Rasanya Tidak Rela #30


Halo, Bosse @PosCinta!
Hari ini tepat tiga puluh hari program #30HariMenulisSuratCinta yang aku dan teman-teman pecinta lain ikuti. Itu artinya, hari ini adalah hari terakhir aku bisa mengirimkan surat cinta melalui bantuan Bosse dan tukang pos lain. Sedih rasanya, ada sedikit ketidak-ikhlasan untuk mengakhirinya. Aku seperti sudah menjadi bagian dalam rutinitas menulis yang awalnya memaksaku untuk memeras otak, merangkai kata demi kata menjadi satu surat cinta yang indah.

Tapi, Bosse, ada kabar baik. Kabar baiknya adalah aku berhasil beristiqomah selama tiga puluh hari berturut-turut tanpa cela demi merampungkan #30HariMenulisSuratCinta. Ini merupakan sebuah kemajuan yang cukup pesat buatku. Karena sebelumnya aku juga sudah pernah mengikuti program menulis serupa, namun hasilnya tidak seberhasil ini. Selalu ada saja hari yang terlewat. Namun kali ini tidak. Aku berhasil, Bosse! Aku berhasil!

Aku ingin mengucapkan terima kasih pada Bosse yang sudah memberikan ruang bagiku dan kawan-kawan pecinta lain untuk menyebarkan cinta melalui surat-surat yang kami tulis. Terima kasih juga karena sudah memfasilitasiku untuk mengungkapkan perasaan cinta yang selama ini hanya mampu kupendam lewat program Surat Kaleng. Aku benar-benar lega telah menyatakan apa yang kurasa pada seseorang di sana, Bosse. Yah, walaupun masih tersisa deg-degannya, sih. Hehehe.

Oiya, kabarnya Bosse mengadakan gathering di Bandung, ya? Andai saja Bosse juga mengadakannya di Surabaya, aku pasti datang. Aku ingin bertemu para pecinta, tukang pos, dan Bosse tentunya, secara langsung. Pasti sangat menyenangkan bisa kopi darat bersama kalian. Adakanlah di Surabaya dong, Bosse... Ya?

Ah, belum apa-apa aku sudah rindu menulis surat cinta lagi. Untuk menunggu hingga tahun depan rasanya tak sanggup. Tapi sekali lagi aku benar-benar mengucapkan terima kasih pada Bosse dan para tukang pos yang sudah mau direpotkan oleh kami para pecinta untuk mengirimkan surat-surat cinta yang kami tulis. Terima kasih, aku sayang kalian!

Sampai jumpa di #30HariMenulisSuratCinta selanjutnya, Bosse dan kawan-kawan! :D



Surabaya, 2 Maret 2014.
Rizky Nindy Lestari.

Sabtu, 01 Maret 2014

Jangan Meredup #29


Hei kau, perempuan yang penuh energi.
Jangan kira aku tak tahu apa yang sedang kau alami saat ini. Walau kau tak pernah bercerita banyak, aku bisa melihat dari sorot matamu yang kadang sendu. Bukannya aku mau sok tahu, tapi percayalah, aku pernah berada di posisimu. Di posisi yang menuntut kita untuk tetap tersenyum dan ceria di manapun kapanpun tanpa pedulikan hati yang sedang kalut.

Akhir-akhir ini, kulihat pandanganmu sering menerawang jauh. Entah apa yang sedang kau pikirkan namun kuyakin, itu pasti bukanlah hal yang bisa kau atasi dengan mudah. Ketahuilah, wahai perempuan yang penuh energi, kau tidak sendiri. Jika kau butuh tempat untuk meluapkan dan melupakan segala beban barang sebentar, kau bisa panggil aku. Kau bisa datangi aku kapan saja. Dengan senang hati aku akan mendengarkan keluh kesahmu, cerita-ceritamu, karena aku tahu rasanya tidak didengar dan tidak punya siapapun untuk berbagi duka.

Hai perempuan yang penuh energi,
kau pernah berkata padaku bahwa kau marah pada dunia. Bahwa dunia tidak pernah adil. Bahwa untuk mendapat sedikit simpati saja harus berparas cantik. Bahwa untuk dihargai saja harus menjadi penjilat. Aku memahami amarahmu. Aku juga pernah memikirkan hal yang sama. Namun kau salah. Kau cantik, dalam caramu sendiri yang memang tak semua orang dapat lihat dengan kasat mata. Kau tidak perlu menjadi penjilat untuk dapat dihargai karena aku dan beberapa orang di sekeliling menghargaimu. Dunia memang tidak adil, sayang, namun ingatlah, ada sang Maha Adil.

Aku tidak ingin melihat energi-energi positif yang selalu kau pancarkan meredup, kemudian lambat laun menghilang. Aku ingin kau kembali bersinar seperti dahulu kala, kembali percaya diri, kembali menjadi dirimu yang kukenal selalu ceria di mana saja. Aku ingin kau tahu, aku akan selalu membantumu setiap saat kau butuh bantuanku.



Pasuruan, 1 Maret 2014.
Dari yang benar-benar memahami perasaanmu.

Jumat, 28 Februari 2014

Trying to Get Used (Again) #28


This maybe the first and last letter I wrote in English. There's no particular reason why I wrote this in English. I'm just feel like my English skill is getting worse and worse since I seldom use it like I used to. You who read my blog earlier from 2011-2012 definitely not surprised and familiar with the way I wrote some posts in English.

It's Friday night, and as a participant in #30HariMenulisSuratCinta, today means Surat Kaleng day. No need to worry guys, I've planned to wrote an anonymous letter to someone (unfortunately you won't read it on my blog, and if you read it on PosCinta's, you probably don't know which letter I've written) who has made me fascinated at the very first time I saw him. I know it sounds cheesy but you'll get it once you meet him.

I think this is literally not a letter. A letter to myself, perhaps. To remind me that I have to learn English more and improve my skill by using it everyday.



Pasuruan, February 28th, 2014.
From a girl who is dying to study abroad.


PS:
Every Friday, the postmen will NOT deliver any letters because it's Surat Kaleng day.

Kamis, 27 Februari 2014

Kangen yang Dulu #27


Hai, Bat!
Udah lama ya kita nggak jalan berdua kaya tadi. Entah cuman perasaanku aja atau gimana, tapi kayanya setelah lama kita nggak ketemu, rasanya agak kaku gitu ya waktu kita ketemu lagi tadi. Apa semua karena kita sudah jarang komunikasi? Ah, hidup memang sulit dimengerti ya, Bat.

Sebenernya Bat, banyak yang pengen aku ceritain sama kamu. Tapi ya itu tadi, aku bingung harus mulai cerita dari mana, saking lamanya kita nggak berjumpa. Lagipula, sepertinya di antara kita sudah mulai ada jarak di mana kamu juga aku nggak bisa cerita semua-muanya secara gamblang kaya dulu. Aku belum tau sih, apa yang bikin persahabatan kita (sepertinya) merenggang. Padahal, dulu apa-apa kita bagi. Hal-hal nggak penting aja diceritain. Tapi sekarang sudah beda ya, Bat.

Aku kangen loh saat-saat kita menggila trus geje-gejean di mana aja. Dulu nih, mau di rumah kek, di sekolah kek, di jalan kek, di kafe kek, di manaaa aja kita pasti ketawa-ketawa nggak jelas (padahal juga nggak ada yang lucu yang patut ditertawakan). Tapi sekarang beda banget ya, Bat. Bahkan sampai ada awkward silence gitu di antara kita.

Dulu juga kalau kita teleponan pasti nggak pernah kehabisan bahan obrolan. Waktu BBM-an atau chat lainnya juga. Tapi sekarang beda. Malah kayanya sudah nggak ada lagi bahan obrolan yang bisa memperpanjang waktu ngobrol kita. Ini semua cuman aku yang ngerasain atau gimana, Bat? Atau mungkin aku yang terlalu sensitif kali, ya?

Sesungguhnya aku pengen kaya orang-orang lain, Bat, yang bisa tetep rame dan punya banyak cerita yang mau dibagi sama sahabatnya ketika mereka sudah lama nggak bertatap muka secara langsung. Tapi entahlah, kayanya aku nggak mahir deh melakukan hal semacam itu. Selalu ada perasaan canggung saat aku dan teman lama yang udah jarang ketemu akhirnya menyisakan sedikit waktu untuk ngobrol langsung. Aku benci hal-hal seperti itu, Bat. Aku pengen punya persahabatan yang kaya di film-film. Yang tetep asik dan seru walau dimakan waktu.

Seberbeda apapun persahabatan kita yang sekarang dan yang dulu, aku cuman pengen satu hal yang nggak berubah: ketulusan kita bersahabat. Tenang aja, Bat, aku nggak akan ke mana-mana kalau kamu butuh tempat buat cerita. Nomor hapeku masih yang sudah kamu simpan, akun twitterku juga masih ada di daftar followersmu. Jadi kalau kamu pengen berbagi suka duka, aku siap kok. Yah, walaupun klise, tapi buatku kalimat kalau kamu bahagia aku pun bahagia itu berlaku buat semua sahabat-sahabat yang kusayangi. Termasuk kamu, Bat.

Jadilah lelaki yang baik ya, Bat. Yang bisa kubanggakan karena memiliki sahabat yang gentleman sepertimu. Aku percaya kok kamu nggak akan ngecewain aku dan harapanku. Dan terima kasih buat traktirannya hari ini. Lain kali aku yang nraktir kalau kamu main ke Surabaya. :D



Pasuruan, 27 Februari 2014.
Dari cuhubutmu yang kangen masa-masa gila sebelum kita berjauhan.

Rabu, 26 Februari 2014

Kehilangan Itu Sakit #26


Tidak seperti surat-suratku sebelumnya, kali ini aku tidak mengawali surat yang ke-dua puluh enam ini dengan sapaan. Hai dan halo yang biasa kulontarkan begitu kalian membaca suratku, kusimpan dahulu. Tidak ada alasan khusus memang, hanya saja surat yang ini kutujukan buat diri sendiri.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kehilangan apapun akan menorehkan paling tidak sedikit luka. Hari ini, aku merasakan satu kehilangan yang sakitnya luar biasa. Bahkan dengan menangispun tak dapat menyembuhkan lukanya dalam sekejap. Namun dari pengalaman kehilanganku hari ini, aku dapat menarik satu poin yang selama ini mungkin tidak pernah terpikir sebelumnya: beberapa kehilangan diciptakan untuk kebaikan diri di masa depan.

Di era seperti ini, jaman yang dipenuhi remaja-remaja galau soal asmara, banyak dari kita para remaja yang seringkali merasakan kehilangan seseorang yang dicinta. Entah itu pacar, gebetan, teman, juga keluarga. Tidak sedikit dari kita yang kerap menyalahkan waktu dan keadaan, bahkan Tuhan, karena mengambil mereka yang kita cinta tanpa permisi. Di titik itu, kita pasti belum menyadari bahwa semua yang kita punya di dunia ini hanyalah titipan semata, yang bisa diambil oleh yang Maha Punya kapan saja tanpa perlu meminta persetujuan dari tiap-tiap kita.

Munafik rasanya kalau aku berkelit bahwa aku selalu ikhlas saat dilanda kehilangan. Kadang aku marah dan kecewa, kadang juga bertanya-tanya, mengapalah diciptakan satu perasaan yang disebut cinta jika pada akhirnya kita harus merelakan yang kita cinta? Bukankah lebih baik kita tidak perlu merasakan apapun daripada harus merasa sakit pada akhirnya?

Namun, hari ini, aku mengerti mengapa kita harus belajar ikhlas merelakan segala sesuatu yang hilang. Karena memang beberapa kehilangan diciptakan untuk kebaikan diri di masa depan. Mungkin kita belum memahami di mana sisi baik untuk diri pada saat ini, namun seperti kata pepatah: waktu akan menjawabnya.

Kehilangan memang sakit. Tapi percayalah, bahwa di setiap yang pergi, ada yang datang.



Pasuruan, 26 Februari 2014.
Dari yang sedang menerka-nerka kapan saat baik itu tiba.

Selasa, 25 Februari 2014

Aku Suka Untuk Februari-mu #25


Hai, kak Tiwi (maaf aku sok kenal, tapi apakah benar begitu panggilanmu?).
Aku dan kau memang sama-sama tidak saling kenal, kak. Tapi begitu aku membaca suratmu yang kau tujukan kepada Februari, entah mengapa rasanya aku tidak asing denganmu. Kata demi kata yang kau rangkai memang sederhana, namun indah dan mendatangkan candu untuk terus membacanya.

Sebelumnya, perkenankan aku mengenalkan diri. Kak Tiwi bisa panggil aku Nindy, kebetulan kita berdiam di kota yang sama, kak. Mungkin melalui surat yang kukirim lewat PosCinta, kita bisa menjalin silaturahmi dan bertukar ide mengenai dunia tulis menulis dengan lebih mudah mengingat kakak dan aku tinggal di satu kota (aku menimba ilmu di kota tempatmu tinggal, kak).

Oh ya kak, perihal Februari, kita punya kesamaan. Februari mengajarkanku hal-hal baru jauh lebih banyak dibanding bulan-bulan lain, yang notabene memiliki hari lebih lama. Walau Februari hanya sampai dua puluh delapan saja, tapi hingga dua puluh lima Februariku ini, aku justru sudah belajar banyak pengetahuan dan pengalaman baru yang tak bisa dibayar dengan uang. Bukankah kak Tiwi juga merasa seperti itu? Rupanya hal ini rahasia Tuhan yang lain, ya, kak.

Teruslah menulis, kak Tiwi. Maaf jika aku lancang mengirimimu surat seperti ini. Senang bisa menemukan orang dengan minat yang sama dari kota tempat tinggal yang sama pula.



Pasuruan, 25 Februari 2014.
Dari yang (merasa) punya beberapa kesamaan denganmu.

Senin, 24 Februari 2014

Aku Terpukul #24


Halo, lelaki berparas tampan dengan tingkah menyenangkan.
Saat aku melihatmu untuk pertama kalinya, tak terpikir sedikitpun bahwa aku akan mengagumi indahmu. Namun lambat laun, dengan segala aksi lucu dan menggemaskan yang kau lakukan entah sadar atau tidak, perasaan itu terpancing juga.

Sebenarnya alasanku (dulu) menggemarimu adalah karena kau tegas dan lugas dalam berbicara. Tak pernah berbelit-belit. Ditambah lagi kelakuan-kelakuan aneh yang kadang tanpa sadar kau lakukan. Seakan hilang apa yang dikatakan dengan jaim dalam dirimu.

Namun, sore tadi, aku seolah dihantam kenyataan. Keras. Dan membuatku terpukul. Makin ke mari tingkahmu makin tak selelaki dahulu. Tentu saja aku terkejut. Siapa yang mengira seseorang sepertimu akan bertingkah seperti itu.

Sungguh disayangkan bahwa kau meleset sedikit agak jauh dari yang selama ini kuharapkan.



Surabaya, 24 Februari 2014.
Dari yang sempat membangga-banggakan ke-tidak jaim-anmu.

Minggu, 23 Februari 2014

Mingguku Menyenangkan #23


Hai, kau yang esok kembali ke kota rantau.
Bagaimana hari Minggu-mu? Apakah kau melaluinya dengan perasaan bahagia, ataukah sebaliknya? Hingga detik ini kau belum cerita, apa yang sudah kau alami seharian tadi di hari yang tidak pernah kau sukai ini. Kalau begitu, boleh kan, aku saja yang cerita?

Hari ini aku berangkat menuju kota tempat kita menimba ilmu dengan mengendarai bus ditemani mama. Lalu aku menginap di rumah Yesi, teman sekampusku yang sudah sangat sering kuceritakan padamu. Aku dan Yesi, bersama dengan mbak Shandra dan Bagas, memutuskan untuk menghabiskan Minggu dengan mengunjungi sebuah event bulanan yang katanya gaul di salah satu mal. Di sana banyak dijual pakaian-pakaian, makanan, dan beberapa barang dengan harga yang relatif lebih terjangkau. Tapi dasar aku, perasaan excited ketika pertama kali sampai di tempat tidak bertahan lama karena suasana yang ramai dan penuh sesak. Aku hanya melihat-lihat beberapa barang, mengitari booth-booth, lalu menunggu Yesi dan mbak Shandra selesai berbelanja. Entahlah. Aku lebih suka mengamati sekeliling, kau tau itu kan.

Minggu-mu sebahagia punyaku tidak? Ah tapi aku tak ingin memaksamu untuk bercerita jika kau tidak mau. Salah salah malah aku mengacaukan moodmu yang tidak pernah bisa kutebak itu. Nanti kalau kita bertemu, aku akan ceritakan hal-hal seru yang terjadi di dua puluh tiga Februari ini, ya.

Semoga perjalananmu besok menuju kota tempatku berada sekarang lancar dan sampai dengan selamat.



Surabaya, 23 Februari 2014.
Dari yang sedang mengagumi salah seorang gitaris band lokal.

Sabtu, 22 Februari 2014

Kecuali Kamu #22


Selamat malam, lelaki dengan kacamata berbingkai hitam.
Hari ini kau meneleponku. Dari seberang telepon kudengar kau akan kembali menuju kota tempatmu belajar (kota tempat kita belajar, lebih tepatnya) hari Senin pagi. Tanpa perlu kutanya, kau tau-tau saja sudah bercerita mengenai hari Minggu besok, yang katamu akan sangat membosankan. Untuk hal ini, aku biasanya akan memprotes siapapun yang memberi penilaian akan sesuatu padahal ia belum tau kebenarannya. Tapi denganmu, aku tidak melakukannya.

Aku juga tidak pernah suka ditelepon dan menelepon, kecuali dalam keadaan yang sangat terdesak. Kau tau kan, suaraku terdengar sangat aneh dan tidak mencerminkan suara seorang wanita sama sekali jika didengar melalui sambungan jarak jauh itu. Tapi, lagi lagi, denganmu, aku tidak mempermasalahkannya.

Tadi kau bertanya bagaimana hari-hariku selama melakukan perjalanan lima hari empat malam. Kubilang padamu bahwa semua yang kualami tidak bisa dibeli dengan uang. Aku tidak mendengar adanya nada terkejut dalam hela nafas dan suaramu. Itu pasti karena kau sudah pernah mengalami apa yang kualami sebelumnya, benar begitu?

Hari ini aku membaca satu buku lama yang kutemukan di dalam rak buku tua di kamar. Biasanya aku selalu mengabaikan anjuran orang-orang di dekatku untuk tidak membaca buku dengan posisi tidur. Tapi denganmu, aku langsung mengubah posisiku saat itu juga tanpa sedikitpun mengeluh.

Apa yang sudah kau lakukan terhadap alam bawah sadarku?



Pasuruan, 22 Februari 2014.
Dari yang menjadikanmu sebuah pengecualian istimewa.

Jumat, 21 Februari 2014

Kita Harus Bertemu #21


Hai, Ayuuuuuk!
Di akun instagram-mu tadi, kamu nyuruh aku buat bikin surat untukmu. Nih, Yuk, aku bikinin surat. :p
Ini hari Jum'at, dan harusnya hari ini aku menulis surat kaleng dan mengirimkannya ke email PosCinta, tapi aku putuskan untuk cuti dulu nulis surat kalengnya. Hari ini, khusus kutuliskan surat untukmu, hai mantan teman sekamar.

Kamu di sana apa kabar, Yuk? Mungkin ini memang pertanyaan klise sih, tapi beneran loh, kamu apa kabar? Tinggal sendirian di kamar kos serem nggak? Trus kalau kamu mau curhat-curhat tentang, yah, you-know-who, curhatnya sama siapa? Yang nemenin kamu cari makan siapa? Masih nggak mau matiin lampu kalau tidur? Trus kalau nganggur di kosan, kamu ngapain, Yuk? Nonton film sendirian, baca novelnya Agatha Christie yang dulu selalu kupinjam, atau main ke temen kamar sebelah?

Nih, ada satu pertanyaan puncak nih buat kamu, Yuk: Kalau malam minggu siapa yang nemenin? Hahaha, inget kan ya, dulu setiap malam minggu kalau kita lagi sama-sama nggak pulang kampung, kita pasti bakalan ngemal trus ngecengin anak-anak yang pacaran? Duh, sekarang kalau malam minggu dan aku lagi di kos, aku bingung banget Yuk harus ngajak siapa buat jalan ngecengin anak pacaran. Yah, kamu tau sendiri kan, Yesi pasti udah banyak rencana sama temen-temen SMP/SMAnya atau nggak malah pacaran sama Derry. Sarah, setiap nggak pulang, adaaaa aja acaranya entah sama saudaranya atau sama gebetan-gebetan nggak jelasnya. Ravita? Kita semua sudah sama-sama tau kan, Ravita anaknya rumahan banget dan suka nggak tau arah jalan. Jadi aku selalu ngaplo di kamar dan membusuk semalaman, Yuk. Menyedihkan sekali, bukan?

Maret nanti kalau kamu pulang ke Kediri dalam rangka liburan, kamu harus nyediain waktu buat jalan sama kita-kita di Surabaya, Yuk! Aku kan dulu sudah pernah bilang mau ngajak kamu ke tempat-tempat seru, trus foto ke studio yang kutunjukkin di TP terakhir kita jalan berempat dulu. Pokoknya, kamu-aku-dan lainnya harus temu kangen sampai kangennya tersampaikan! (yaaah, walaupun nggak akan pernah habis rasa kangenku buatmu #halah)

Bawain aku oleh-oleh jajan Yupi dan nasgor ya, kak! Hehehe... (ala Anya)



Pasuruan, 21 Februari 2014.
Dari cahabatmu yang kata orang-orang nyebelin.

Kamis, 20 Februari 2014

Cie, Berkepala Dua Nih #20


Hai, Romaaa.
Hari ini kamu mengulang hari kelahiran yang ke-20 kalinya, loh! Gimana, Rom, rasanya jadi makin tua? Siap nggak, menempuh umur dua puluh yang kata orang-orang bakalan kerasa cepet banget berjalannya?

Maaf ya, Rom, di hari spesialmu ini aku belum bisa ngasih kado layaknya orang-orang yang sedang berulangtahun lainnya dapatkan. Tapi, sebagai teman yang baik, aku, Ravita, Yesi, dan Sarah nggak akan melewatkan ulang tahunmu begitu saja. Kamu harus lihat video yang sudah kita buat, yaa. Toh, tadi kamu ada di sana kan waktu kami bikin videonya. Kurang romantis apa coba teman-temanmu ini, Rom.

Rom, ingat nggak, hari ini di bus kamu jejogetan aneh waktu lagu Oplosan diputar di bus. Apakah ini pertanda bahwa kamu sudah siap menjadi tua, wahai Roma? Aku tidak tau. Hanya kamu dan rumput bergoyang saja yang tau.

Sekali lagi, selamat menua ya, Romaaaa!



Solo, 20 Februari 2014.
Dari temanmu yang paling romantis.

Rabu, 19 Februari 2014

Cepat Sembuh, Mas! #19


Hai, mas Widi. Perkenalkan, aku Nindy, salah seorang dari banyak mahasiswa yang tadi mengunjungi tempat kerjamu. Awal aku memasuki ruangan di mana kau menunggu kami untuk memberikan materi company profile perusahaanmu, jujur saja, aku terkejut. Aku merasa tak asing dengan wajahmu. Kacamata itu, terasa familiar. Lalu aku mulai mengingat-ingat siapakah namamu.

Setelah rekanmu memperkenalkan diri (dan memperkenalkanmu), aku baru mengingatmu. Setelah panjang lebar kau jelaskan ini itu, kau juga mengatakan suatu hal yang makin menguatkan ingatanku. Pantas saja kau tak asing bagiku.

Tapi mas, tadi kondisimu tidak begitu sehat. Ada dua penyangga badan yang kau gunakan untuk membantumu berjalan. Aku biasa menyebutnya krek. Aku penasaran mengapa kau seperti itu. Tapi aku tak punya cukup nyali untuk menanyakannya langsung padamu.

Semoga kau lekas sembuh ya, mas Widi. Sukses dengan karirmu. Dan terima kasih karena telah memberiku dan teman-temanku ilmu baru yang bermanfaat.



Purwakarta, 19 Februari 2014.
Dari yang sudah lama mengagumimu.

Selasa, 18 Februari 2014

Mang Uus, Kencan Yuk! #18


Halo, mang Uus, sang tukang pos yang ceria (memang iya? Hehe, anggap saja begitu).

Ini kan surat pertamaku buatmu mang, untuk salam pembuka aku ingin mengucapkan terima kasih karena telah menyampaikan surat-suratku walau kadang terselip. Aku mengerti, pasti banyak tumpukan surat yang harus kau sampaikan, sehingga satu-dua surat dariku atau mungkin dari teman-teman lain tidak sempat disampaikan.

Eh, ngomong-ngomong, mang Uus sudah tau mobil imut lucu keluaran Toyota yang harganya terjangkau itu? Iya, Agya. Sepertinya akan menyenangkan bisa jalan-jalan mengitari kota dengan Toyota Agya, apalagi jika kau temani. Bolehkan aku sekali ini mengajakmu kencan, dengan menumpangi Agya tentunya, sebagai tanda terima kasihku atas jasamu mengirimkan surat-suratku.

Mang Uus mau ya, kencan bersamaku dengan mobil Agya yang super imut itu? Ya? *kedip manja*



Bekasi, 18 Februari 2014.
Dari yang pernah ngambek karena suratku tidak kau kirimkan.

Senin, 17 Februari 2014

Semoga Tidak Semu #17


Hai, kau. Lagi lagi kau.
Aku akhirnya mulai mengantongi beberapa pengalaman dan keseruan baru. Saat ini, aku sedang berada dalam satu bus yang akan membawaku menjemput kenangan baru yang pasti akan kubagikan padamu.

Hari ini, aku telah melewati beberapa kota yang (mungkin) sudah pernah kulewati sebelumnya tanpa sadar (karena ini bukan kali pertama aku menuju ibukota dengan menaiki bus). Sejauh ini aku menikmati perjalanan panjang yang asyik dan seru. Doakan saja ya, keasyikan dan keseruan ini berlanjut hingga esok, esok, dan esoknya lagi.

Kau apa kabar? Bagaimana hari Minggu-mu kemarin? Kau belum menceritakannya padaku, lho. Semoga saja tidak membuatmu melipat muka seperti biasanya, ya.




Kendal, 17 Februari 2014.
Dari yang sedang berjuang melawan migrain di sela keramaian.

Minggu, 16 Februari 2014

Sebuah Perjalanan #16


Hai, kau.
Besok pagi aku akan mulai merangkai kenangan dan pengalaman. Jangan kira hanya kau saja yang bisa membuat lawan bicaramu iri dengan cerita-cerita melanglang buana milikmu. Ya, walaupun esok aku tidak bisa dikatakan akan 'melanglang buana', setidaknya aku akan merasakan beberapa buah pengalaman baru di tempat yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Aku berani menjamin, ceritaku tidak kalah serunya dengan punyamu.

Saat menuliskan surat ini, aku ditemani tembang-tembang mengasyikkan dari album ketiga band lokal favoritku, RAN. Di detik ini, pukul 21:38, sedang terputar lagu berjudul Singgasana Hati. Coba kau dengarkan lagu itu, liriknya ringan namun tidak murahan. Kau pasti suka.

Aku juga sedang packing, nih. Satu hal yang pernah kau ajarkan padaku mengenai packing yang tidak akan kulupa: selalu bawa reusable bag, demi mengurangi sampah plastik kresek dan jaga-jaga. Kepedulianmu terhadap lingkungan memang patut kuacungi dua jempol. Tak heran kau menjadi panutan teman-temanmu.

Sudah dulu, ya. Aku tidak boleh tidur terlalu larut, karena besok pagi-pagi sekali aku harus sudah siap. Tunggu kepulanganku dengan pengalaman-pengalaman baru, ya!



Surabaya, 16 Februari 2014.
Dari yang sedang kelaparan di tengah sibuknya melipat baju.

Sabtu, 15 Februari 2014

Welcome Home, You. #15


Hai, kau yang akhirnya sampai di rumahmu dengan selamat. Sudah tiga hari kau berada di tempatmu yang hangat. Maafkan aku yang baru bisa mengucapkan "Selamat datang kembali!" padamu.

Kau pulang dengan membawa sejuta cerita-cerita seru nan menarik yang tak henti kau ceritakan terus-menerus padaku. Sore tadi, saat kita memutuskan untuk bertatap muka setelah sekian lama, kau terlihat sedikit berbeda. Kulitmu lebih gelap dari terakhir kita berjumpa, tapi sinar matamu masih sama. Air mukamu juga masih berseri-seri. Andai saja aku berada di sana, bersamamu, menemanimu, dan menjadi bagian dari cerita-cerita yang (katamu) akan selalu kau kenang.

Kini, saat kau (akhirnya) kembali dari perjalanan panjangmu, aku malah akan beranjak memulai perjalanan tanpamu. Entahlah, kita seperti selalu terpisah ruang dan waktu, untuk sekadar bertemu saja kita harus menunggu sekian lama. Maafkan aku ya, nanti akan kuhujani kau dengan cerita-cerita seru punyaku. Jadi kita impas.

Oya, aku juga sudah berencana untuk mendatangi tempatmu sepulangku dari perjalanan yang kuceritakan tadi. Untuk menjalani hubungan seperti ini memang tidak pernah mudah untuk kita, maka dari itu aku putuskan untuk sekali waktu menengok kampung halamanmu. Kau kan sudah sering menengokku di sini, jadi bolehlah aku merasakan udara pagi kotamu.

Sampai berjumpa kembali, dear. Dan, selamat datang!



Pasuruan, 15 Februari 2014.
Dari yang tidak sabar ingin bertemu lagi.

Jumat, 14 Februari 2014

Kepada Sesiapa yang Akan Mendampingiku Kelak #14


Halo, kau yang nantinya akan berada di sampingku ketika tiba saatnya.
Aku tidak tahu apakah kita sudah dipertemukan atau belum. Aku juga tidak tahu apakah kau seorang lelaki gundul ataukah berambut cepak rapi. Aku tidak menemukan petunjuk apapun tentangmu, selain kau seorang laki-laki yang sudah pasti terbaik untukku.

Mungkin kita memang belum bertemu, mungkin pula kita pernah satu kali bertatap muka di tempat yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Mungkin kita sedang sama-sama menunggu waktu itu; saat akhirnya kita mendapat keyakinan bahwa kau memang tercipta untukku dan aku tercipta dari tulang rusukmu.
Selama ini, aku bertanya-tanya: Adakah seseorang di sana yang dapat mengerti seluruh cerita-cerita dan keluh kesah manjaku tanpa sekalipun memberi penilaian? Adakah seseorang di sana yang rela menjadi partner gilaku? Adakah seseorang di sana yang mampu melihat kekurangan-kekuranganku dan menutupinya dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki? Adakah seseorang di sana yang bersedia menjadi imam dan kepala keluarga dari keluarga kecilku kelak? Adakah seseorang di sana yang dapat membawaku menjadi ciptaan Allah yang jauh lebih baik dari sebelumnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu memang terlalu dini untuk ditanyakan, namun aku sudah menemukan jawabnya: ada. Kau, yang entah membaca surat ini atau tidak, sudah dipersiapkan Allah untuk memintaku pada Ayahku pada saat yang tepat. Yang akan menerimaku dalam segala kurang dan lebihku. Yang akan menemaniku meraih cita-cita yang belum tercapai. Yang akan menjadi pria ketiga yang kucintai sepenuh hati setelah ayah dan adik lelakiku. Yang akan menjadi pemimpin dalam setiap langkah yang akan kita jalani.

Kau mungkin tidak sempurna, begitupula aku. Tapi hingga saat yang kita tunggu itu tiba, aku akan terus berusaha memantaskan diri untuk menjadi pendampingmu yang baik dan solehah. Bukankah Allah sudah menentukan, "Lelaki yang baik hanya untuk wanita yang baik. Wanita yang baik hanya untuk lelaki yang baik." Dan karena aku menginginkanmu, seseorang yang sudah tentu baik untukku dan keluargaku (juga keluarga kita), maka aku harus memperbaiki diri menjadi sosok wanita yang pantas mendampingimu.

Aku yakin, tingkah-tingkah anehku yang mungkin kebanyakan orang tak dapat memahami, akan kau pahami dan mungkin menjadi bagian favoritmu dariku. Bagian dirimu yang tidak kau suka, mungkin juga akan menjadi bagian yang paling kugemari. Aku percaya, pasangan diciptakan untuk saling melengkapi, dan aku menunggu saat kau akhirnya menempati ruang kosong dalam hidupku; menyempurnakannya.

Sabarlah menunggu. Aku takkan ke mana-mana.



Pasuruan, 14 Februari 2014.
Dari yang sedang mempersiapkan diri bertemu denganmu.

Kamis, 13 Februari 2014

Senyum Terakhirmu #13


Hai, Mai!
Sudah berapa lama kita nggak ketemu? Terhitung sejak sapaan terakhirmu, ini sudah empat tahun lebih ya, Mai. Kangen nggak sama aku? Hahaha, aku kangen ngejailin kamu dan rambutmu yang aneh itu, Mai. Masih inget kan, gimana aku dan Elita masuk-masukin sisa-sisa penghapus sama staples ke rambutmu, trus kamu bilang, "Woi woi! Aduuuuh..." sambil ketawa-tawa kecil geje trus acak-acak rambutmu biar "sampah" tadi hilang. Aku sama Elita cuman bisa ngakak dan nggak berhenti ngejailin kamu, Mai.

Oh ya, Mai, inget nggak waktu Elita bilang, "Mai, ada pemain FTV yang mukanya mirip kamu!" trus kamu senyum-senyum geje (kapan sih, kamu nggak senyum-senyum geje?) lalu tanya, "Hah iyotah, El? Sopo emang?" Trus Elita jawab namanya Guntur. Dan sejak itu aku dan Elita sering panggil kamu Geledek, gara-gara kamu mirip orang yang namanya Guntur itu. Huahaha, yang bikin lebih lucu adalah karena kamu ngakuin kalau kamu emang mirip Guntur. Konyol tau, Mai. :D

Kalau ada yang panggil kamu Mai, selain aku dan Elita, itu pasti Papai, pasanganmu, Mai. :p Hahaha, nggak ngerti kenapa kita dulu bisa gila banget bikin keluarga yang terdiri dari kamu sebagai Mamai, Papai, Mbah, dan anak-anaknya adalah aku sama Elita. Trus kekeluargaan kita kusebarluaskan di tempat les, sehingga mbak Ninda dan beberapa tentor lainnya ikutan manggil kamu Mai. Duh, Mai, kangen nggak sih waktu ketawa-tawa ngakak karena kita sekeluarga ngelakuin hal-hal nggak jelas yang semestinya nggak lucu dan nggak pantes buat ditertawain tapi kita malah ketawa-tawa sendiri? Aku kangen, loh.

Aku juga masih inget, Mai, seminggu sebelum kamu bener-bener pergi, kamu ngasih aku 'kenangan' yang nggak biasa. Hari Senin sepulang sekolah, waktu aku nunggu jemputan di depan gerbang, aku masih inget banget kamu dan motormu yang lebih gede daripada ukuran badanmu sendiri, tiba-tiba nangkring di depanku. Kamu berhenti sebentar sebelum lanjutin perjalanan pulang, lengkap dengan senyummu yang nggak pernah nggak geje. Trus aku bilang, "Lapo, Mai?" dan kamu jawab, "Nggak, nggak popo." Setelah senyum-senyum geje yang bikin aku ikutan senyum geje juga, kamu akhirnya mutusin buat lanjut pulang. "Mulih sek, yo!"
Hari Selasa (atau mungkin Rabu, aku lupa), masih setelah pulang sekolah, selepas aku jemput Elita di kelasnya, aku dan Elita lihat kamu berdiri dengan tatapan kosong di depan wastafel sebelah laboratorium fisika. Aku sama Elita yang nggak biasanya lihat kamu kayak gitu, otomatis nyapa dong. Kita tanya, "Kenapa, Mai?" kamu masih belum sadar dari kebengonganmu. Lalu kita ngagetin kamu dengan, "Woi, Mai!" Kamu cuman senyum tipis yang dipaksakan, dan geleng-geleng kecil.

Setelah itu, aku lupa kapan terakhir aku ngece kamu dengan motor gedemu. Tapi di Jum'at siang tanggal 11 Desember 2009, di sela tidurku buat ngisi energi sebelum les, aku dibangunkan oleh sebuah pesan singkat yang kuterima dari Hilal dengan isi yang nggak aku ngerti maksudnya apa. Aku diem, bengong, langsung ngambil posisi duduk begitu aku baca smsnya. Setelah aku bales smsnya Hilal dan dia ngasih penjelasan, saat itu aku bener-bener bengong nggak percaya. Aku masih diem. Nggak lama, Elita nelpon dan bilang kalau kabar itu bener. Bahkan sekarang temen-temen yang lain sudah berada di rumah sakit. Nggak pake pikir panjang, langsung aja aku ganti baju dan meluncur ke rumah Elita. Sesampainya di rumah sakit, aku lihat Imam yang nangis sesenggukan di depan UGD. Aku lemes.

Lihat tubuhmu udah terbujur kaku di ruang jenazah, air mataku udah nggak terbendung lagi, Mai. Aku nggak percaya yang ada di sana itu kamu, Galih Raditya Pratama, Mamai-ku, temen yang selalu kujailin semasa sekolah. Helm yang kamu pakai waktu itu, udah penuh darah. Aku makin nangis ngeliatnya. Beruntung, ada Elita dan Bu Mus, guru bahasa Indonesia favorit kita, yang nenangin dan yakinin aku kalau kamu sudah bahagia di sana. Aku masih sempat lihat senyum terakhirmu di ruangan yang seram itu, Mai. Kamu tersenyum, sama seperti senyuman yang kamu beri buat aku dan Elita beberapa hari sebelum kamu pergi.

Aku nggak pernah nyangka, sapaan dan candaan di hari Senin itu bakal jadi yang terakhir yang kuterima darimu, Mai. Tapi aku bersyukur, kamu ngasih aku kenangan yang nggak bakal kulupain itu. Sekarang, sudah nggak ada lagi Mamai yang bisa kuusilin rambutnya, yang bisa kuajak debat masalah lagu, yang cerita masalah hal-hal nggak penting sama aku. Seandainya kamu masih sama-sama kita di sini, mungkin kamu sudah satu kampus sama Edo, Gani, Fajrin, dan temen-temen lainnya di kampus impianmu, Mai. Mungkin kita masih bisa bercanda lagi di kota orang. Tapi 'andai' akan tetap menjadi andai.

Kita nggak berpisah untuk selamanya kok, Mai. Hanya sampai nanti kita bertemu lagi. Kangen nih. Surga pasti memberimu lebih banyak kebahagiaan dibanding yang kamu rasa di sini.

Foto ini kuambil di atas kapal dalam perjalanan menuju Bali. Coba lihat gayamu, Mai, tetep sok jutek. :p



Pasuruan, 13 Februari 2014.
Dari yang selalu nangis ketika dengerin Lagu Untuk Riri-nya RAN.

Rabu, 12 Februari 2014

Re? #12


Hai, Re! Apa kabar lo? Masih inget gue? Yaah, mungkin lo udah lupa sama gue. Gue temen lo sesama blogger yang nemuin blog lo karena googling dengan keyword "Hotel 626". Kayak game online yang sama-sama kita suka itu, elo juga tiba-tiba menghilang seiring dengan hilangnya Hotel 626.

Bukan apa-apa nih Re, sebenernya gue penasaran lo ke mana selama ini. Akun facebook lo nggak aktif, bahkan nggak ada foto profil dan foto-foto lainnya, lo juga udah lama nggak ngetwit, apalagi ngeblog. Padahal Re, lo salah satu inspirasi gue dalam ngeblog di tahun 2008-2009. Coba aja lo ubek-ubek lagi postingan gue dari jaman baru-baru bikin blog. Gaya gue nyeritain keseharian sama kayak elo, Re. Selain itu, gue juga suka ngebacain cerita-cerita lo yang sebenernya biasa tapi lo bikin konyol abis. Seru aja gitu.

Lo ke mana sih, Re? Dan kenapa lo tiba-tiba ngilang dari dunia maya? Kita emang nggak sering-sering amat berinteraksi, tapi ketika gue chatting sama lo dan Glad, (eh masih inget Gladytha, kan?) gue berasa nemuin dunia baru yang belum pernah gue temuin sebelumnya. Kalian berdua seru, lucu, gokil. Dari kalian juga gue pertama kali tau istilah alay. Waktu itu lo juga pernah nakut-nakutin gue waktu gue tanya soal level 8 di Hotel 626. Hahaha, gue kangen kegilaan lo, Re. Muncul lagi, dong. Plis.

Oh ya, 2 Februari kemaren lo ulang tahun, kan? Selamat tua ye, udah umur dua puluh dua tuh. Udahan lah, lo muncul lagi kek. Drastis banget tau Re, dari elo yang punya segala sosmed: Plurk, MySpace, Heello, Formspring, bahkan Friendster, sekarang nggak gue temuin sama sekali di sosmed paling mutakhir sekalipun. Kangen kegilaan lo nih, Re. Kangen kegilaan lo.



Pasuruan, 12 Februari 2014.
Dari temen lo yang berusaha cari info ke mana dan kenapa.

Selasa, 11 Februari 2014

Semangat Ya, Mbak! #11


Kepada mbak berbaju hangat hijau keabu-abuan di foto ini...


Sebelumnya, aku minta maaf karena lancang mengambil gambarmu yang sedang menikmati sarapan tanpa izin. Aku tidak mengenalmu, mbak, begitupula denganmu. Aku masih ingat, di pagi itu aku sedang menunggu pesanan siomay-ku di Taman Bungkul bersama Ayu. Dengan kamera yang kukalungkan (aku sedang dalam tugas kuliah fotografi bertemakan human interest), mataku menangkap sosokmu yang sedang menunggu pembeli datang. Si Mbak menjajakan pakaian-pakaian yang dibiarkan tergantung di pinggirmu. Sesekali wanita-wanita muda berhenti, mendekat, dan memilah-milih baju daganganmu. Tapi tak seorangpun membuka dompetnya untukmu, mbak.

Mungkin kau lelah berdiri terus-menerus menata dagangan, maka kau putuskan untuk beristirahat barang sebentar. Kau membuka sebungkus nasi pecel yang (mungkin) kau beli dari ibu pedangan pecel ponorogo di seberang lapakmu. Melihatmu makan dengan lahap, aku yakin kau pasti belum memasukkan makanan apapun ke dalam perutmu ketika berangkat berdagang pagi tadi.

Kita memang tidak saling mengenal, mbak, tapi aku salut padamu. Kau masih begitu muda, mungkin seumuran denganku, mungkin juga lebih tua beberapa tahun. Jika boleh menebak, mungkin kegiatanmu di Minggu pagi itu adalah salah satu selingan untuk sekadar mencari uang jajan tambahan, mungkin juga tidak. Well, apapun tujuanmu berdagang, aku hanya bisa menyemangatimu dari kejauhan, mbak.

Semoga daganganmu laris manis ya, mbak, sepertimu yang manis dengan wajah tertutup topi merah jambu dan rambut terikat.



Pasuruan, 11 Februari 2014.
Dari aku yang suka memperhatikan sekeliling.

Senin, 10 Februari 2014

Pulanglah #10


Halo, kau yang jauh di sana. Saat ini hanya dua suku kata yang dapat menggambarkan perasaanku: rin-du; ka-ngen.

Sudah dua minggu kau habiskan waktu liburmu mengunjungi pantai-pantai indah nusantara. Dari yang kusimak melalui ceritamu dalam pesan-pesan singkat yang kau kirim, sepertinya kau tidak ingin masa-masa bebas tugas kuliah ini segera berakhir. Tapi aku sebaliknya. Maaf untuk keegoisanku, aku hanya tidak sabar untuk segera bertemu denganmu.

"Kamu minta oleh-oleh apa?" begitu katamu. Aku tak inginkan apapun kecuali kepulanganmu dengan selamat. Aku rindu mengacak-acak rambutmu, aku rindu menyembunyikan kacamatamu, aku rindu menarik-narik bulu kakimu, aku rindu semua hal gila yang kita lakukan. Aku rindu.

Pulanglah. Dengan tanpa kekurangan satu apapun.



Pasuruan, 10 Februari 2014.
Masih untukmu,
dari aku yang (juga masih) menunggu.

Minggu, 09 Februari 2014

Yang Tidak Kau Suka #9


Hai. Ini hari Minggu, hari yang kau benci. Aku masih ingat alasan dibalik kebencianmu terhadap hari ini. Standar saja memang: karena esoknya adalah Senin, hari di mana semua rutinitas kembali seperti biasa. Tapi akhir-akhir ini, kau sudah tidak pernah mengeluh lagi padaku perihal hari Minggu. Entahlah, mungkin liburanmu di pulau seberang lebih mengasyikkan hingga tak meninggalkan sedikit ruang untukmu mengeluh.

Aku suka ketika kau melupakan hari Minggu-mu. Itu berarti, kau sedang menghabiskan waktu yang bermakna hingga kau lupakan ketidaksukaanmu. Sama seperti beberapa minggu yang lalu, saat kau berkata, "Besok lagi, yuk!" yang kubalas dengan, "Besok kan harus kuliah..." lalu kau tersadar, namun bukannya merengut seperti biasanya, kau malah tertawa. Aku selalu suka melihat tawa yang menimbulkan beberapa kerut di sekitar matamu.

Saat kutuliskan surat ini, aku sangat yakin bahwa Minggu-mu sedang penuh tawa seperti saat itu. Walau kau melaluinya tanpaku, itu bukan masalah besar. Yang terpenting adalah kebahagiaanmu. Percayalah aku selalu mendoakanmu untuk itu.



Pasuruan, 9 Februari 2014.
(lagi-lagi) Untuk kamu,
dari aku yang menunggumu pulang membawa keriaan.

Sabtu, 08 Februari 2014

Singkat Saja #8


Selamat malam.
Surat yang ini, untuk kamu.
Kita sudah lama tak bersua. Hanya mampu bertukar cerita melalui sambungan interlokal. Telepon memang sedikit mengobati rasa rindu, namun perasaan lega dan gembiranya tak sama dengan jika kau dan aku saling bertatap mata - membuka telinga untuk kisah-kisah; mendengar riang suaramu dan aku: kita.

Aku bisa saja memandang wajahmu melalui video call, tapi aku lebih memilih untuk melihatmu secara langsung, walau memang butuh kesabaran lebih untuk itu. Tidak apa-apa, mendengar suaramu saja sudah lebih dari cukup.



Pasuruan, 8 Februari 2014.
Untuk Ario,
dari orang yang kau sebut masa depan.

Jumat, 07 Februari 2014

Hai, Hujan! #7


Aku terbiasa menyukaimu, hujan. Entah bagaimana, saat kau mulai datang, aku senang. Tapi aku tidak suka ketika kau datang beramai-ramai. Kau tahu kan, aku tidak terlalu suka keramaian. Aku suka saat kau mendatangiku dengan ramah. Menyapa dengan bau khas sehabis kau turun yang sangat kusuka.

Tapi akhir-akhir ini, aku tidak begitu mengharapkan kedatanganmu. Beberapa tempat di bumi pertiwiku menyalahkanmu atas apa yang sedang terjadi belakangan. Aku sempat kesal, tidak terima dengan tuduhan mereka. Bukan sepenuhnya salahmu kalau di sana sini terjadi banjir. Siapa suruh mereka tidak mau membuang sampah pada tempat yang seharusnya, hm? Tapi kemudian, aku terpikir mereka yang terpaksa menunda kegiatan hanya karena kau tiba-tiba datang. Aku juga tidak bisa menyuruhmu untuk memberi peringatan saat kau ingin datang. Kalau kau ingin datang, ya datang saja. Tapi lalu bagaimana dengan mereka yang menyalahkanmu? Yang katanya kesusahan karenamu? Yang rencana-rencananya tertunda karena hadirmu?

Namun tenang saja, aku tetap menyukaimu. Walaupun ketika aku terkena seranganmu meski sekelebat saja ragaku langsung memberontak, tapi aku tetap dan masih akan menyukaimu. Kau juga ciptaanNya, yang patut disyukuri.



Pasuruan, 7 Februari 2014.
Dari temanmu, sang penggemar petrichor.

Kamis, 06 Februari 2014

Teruntuk Wanita yang Tenaganya Tidak Pernah Habis #6


Assalamu'alaikum, wanita hebat yang selalu ada untukku.

Mama, begitu aku memanggilmu. Mungkin kata itu pula yang keluar pertama kali dari mulutku saat aku mulai bisa berucap. Tapi surat ini bukan perkara bagaimana aku memanggilmu, ma, atau mengapa aku memanggilmu mama, bukannya ibu, bunda, atau bahkan mommy.

Ma, aku bangga memiliki mama yang super tangguh sepertimu. Di usia papa yang sudah tidak memungkinkan untuk bekerja lagi, kaulah yang selama ini membiayaiku dan adik sekolah, memberiku uang jajan, membelikanku ini dan itu, sekaligus masih menjadi mama yang menangani segala keperluan rumah. Aku tahu itu tidak mudah bagimu, ma, karena mama pasti lelah sekali menanggung semuanya sendiri. Belum lagi ketika ada keperluan kuliah yang mendadak, yang mengharuskanku meminta lagi pada mama. Sebenarnya ma, hati ini tidak pernah tega mengatakan kalimat demi kalimat penuh permintaan kepadamu. Aku tidak ingin selalu mengandalkan mama, aku ingin mama yang mengandalkanku.

Dahulu, saat pikiranku tak sestabil ini, aku sering sekali ngambek saat mama tidak memberikan apa yang kuingin. Mama memang selalu mengajarkanku untuk berusaha dengan kemampuanku sendiri demi mendapat apa yang kumau. Mana pernah mama langsung mengiyakan ketika aku menginginkan sesuatu? Seperti saat aku menginginkan kamera yang kuidam-idamkan sejak lama, alih-alih membelikan, mama malah berkata, "Iya nanti mama belikan, kalau kamu ranking satu." Dan benar saja, aku harus berusaha keras untuk mendapatkan kamera yang kini kumiliki. Tapi apa yang selalu mama ajarkan padaku selama ini membawa dampak positif padaku, ma. Aku jadi tidak meremehkan sekecil apapun usaha. Aku jadi selalu termotivasi untuk tetap terus berusaha lebih dan lebih demi mendapatkan sesuatu, bukannya santai-santai dan tinggal tunjuk.

Tetapi, kini dengan semakin bertambahnya usia, aku menyadari, bahwa ngambek ketika keinginanku tidak terpenuhi saat itu juga adalah hal konyol yang kekanak-kanakan. Sekarang, untuk meminta sesuatu pada mama, aku berpikir seribu kali. Aku akan berusaha mendapatkan sesuatu dengan usahaku sendiri. Dengan uangku sendiri. Aku tidak setega itu untuk meminta terus-menerus pada mama. Masih banyak hal lain yang membutuhkan dana tidak sedikit untuk mama tangani. Aku sadar itu, ma. Maka dari itu, aku tidak berani memberitahu mama tentang biaya study excursie. Aku ingin berusaha dahulu.

Mama tidak mengenal kata capek. Selepas kerja, mama bukannya beristirahat tapi malah membuatkanku makan siang. Saat mama terlelap, aku sering memerhatikan raut muka mama. Raut muka lelah, yang tak lagi sesegar dulu, yang tak lagi muda, yang kini mulai dihiasi keriput kecil. Bagaimana bisa aku tidak meneteskan air mata melihat wajah kelelahan itu? Bagaimana bisa aku tidak memikirkan beban yang mama pikirkan? Seperti mama yang selalu ada saat aku sedang dalam keadaan apapun, aku berjanji juga akan selalu ada saat mama membutuhkanku untuk sekadar berbagi lelah.

Tidak ada sahabat terbaik di dunia selain mama. Siapa yang akan kutelepon pertama kali ketika aku membutuhkan seseorang untuk meluapkan rasa sesak dalam dada jika bukan mama? Siapa yang akan meneleponku pertama kali ketika aku tak segera pulang padahal hari sudah malam jika bukan mama? Siapa yang akan mengingatkanku pertama kali untuk tidak terlambat makan dan minum obat saat aku sedang sakit jika bukan mama? Di kota orang, aku tidak bisa mendapatkan perhatian mama sebanyak jika aku sedang berada di rumah. Itulah mengapa aku selalu ingin pulang ke rumah saat akhir pekan tiba, ma.

Ma, mama selalu menyebutku gadis tomboy. Sekali waktu ketika aku minta dibelikan lipstick padamu, mama bilang, "Duh, kamu kalau pake lipstick ntar kayak banci, mbak." Tentu saja aku merengut, namun kemudian kita tertawa bersama di depan mbak sales promotion girl yang memandangiku dengan senyum lebar. Pernah juga saat aku merajuk minta dibelikan rok, mama malah berkata, "Percuma, nanti nggak kamu pake." Hahaha, mungkin memang benar sih, ma, tapi kan aku juga ingin seperti gadis-gadis lain di luar sana yang tampil anggun dengan memakai rok.

Ma, anak perempuanmu yang manja ini sekarang sedang dalam proses menuju dewasa. Mungkin aku belum sedewasa wanita-wanita lain di luar sana, tapi sedang kuusahakan supaya aku tidak lagi manja dan cengeng. Aku senang ketika aku bercerita betapa menyebalkannya hariku pada mama melalui telepon, mama berkata, "Nggak apa-apa, mbak. Ini kamu lagi diuji sama Allah, bisa nggak kamu nyelesein masalah kayak gini. Kamu kan calon pemimpin. Tapi kamu sudah lumayan berubah lho, mbak. Dulu dikit-dikit nangis, sekarang sudah lebih tegar." Berarti aku sudah bukanlah gadis kecil mama yang cengeng lagi ya, ma? :")

Ketegaranku kupelajari darimu, ma. Mama selalu tabah dan tegar menghadapi segala rupa masalah. Dari luar, mungkin mama mengira aku tidak peduli, cuek, dengan apa yang sedang mama alami. Tapi sejujurnya ma, aku sedang berusaha mencari solusi terbaik untuk meringankan beban mama. Aku bersedia menjadi tempat mama membagi beban hidup, apapun itu. Apalah gunanya mama melahirkan anak perempuan jika tidak dapat membantumu, ma.

Memilikimu sebagai mamaku membuatku merasa menjadi anak paling beruntung sedunia, ma. Bagaimana tidak, apapun cerita dan permasalahanku, mama selalu sedia menjadi sosok pendengar yang baik. Aku tidak segan menceritakan apa saja yang ingin kuceritakan, termasuk siapa lelaki yang sedang kusuka saat ini, apa yang terjadi dalam dunia perkuliahanku, bahkan selain mendengarkan cerita-ceritaku yang tidak penting, mama juga menemaniku nonton konser band favorit dan ikut menyanyi seolah-olah mama juga penggemarnya. Hal menyenangkan lainnya adalah mama juga memiliki selera fashion yang menarik, sehingga banyak baju-baju keren mama ketika muda yang dapat kupakai kembali di masa kini. Aku memang beruntung punya mama seperti mama.

Mama, kau memang seorang wonder woman dalam arti yang sesungguhnya. Alhamdulillah, Allah memberi seorang malaikat seperti mama dalam kehidupanku. Terima kasih telah membiarkanku berada dalam perut mama selama sembilan bulan. Terima kasih telah memberiku asupan gizi terbaik. Terima kasih telah mendidikku dengan baik. Terima kasih telah menjadi sahabat pertama yang tidak pernah menghilang. Terima kasih untuk segala doa yang tak pernah putus kau panjatkan padaNya. Terima kasih karena menjadi mamaku, mama yang cantik dan baik. Jagalah kesehatan, jangan mama sakit-sakitan lagi. Mama jangan capek-capek, istirahatlah secukupnya. Makanlah yang teratur, ma. Maaf karena aku masih sering membuat mama marah dan menangis. Maaf karena belum bisa menjadi anak yang patut dibanggakan. Tunggulah saat ketika impian dan cita-citaku terwujud, sehingga suatu hari nanti mama dapat melihatku tumbuh menjadi seorang wanita sukses dan bisa kau banggakan.



Pasuruan, 6 Februari 2014.
Dari anak sulungmu yang menyayangimu melebihi apapun.

Rabu, 05 Februari 2014

Kepada Angin #5


Angin,
sudah banyak cerita tentang kebahagiaan pun kesedihan yang kuceritakan padamu. Tak jarang aku memintamu untuk menyampaikan pesan-pesan yang ingin kusampaikan pada mereka di luar sana, yang tak sangggup kusampaikan sendiri. Kau tahu kan, bagaimana aku yang sesungguhnya?

Angin,
aku tidak membenci mereka yang salah menilai pribadiku. Aku tidak menyalahkan mereka yang lebih suka mendengarkan cerita tentangku dari orang lain yang belum tentu tahu kebenarannya dibanding dari mulutku sendiri. Itu hak mereka untuk memilih mana yang ingin mereka dengar. Ya, walaupun kadang hal itu melukai perasaanku.

Hai Angin,
aku tidak tahu apakah kau menyampaikan pesan-pesanku pada mereka seperti yang kuamanatkan padamu di hari yang lalu. Aku juga tidak pernah tahu apakah mereka mendengar pesanku melaluimu. Mungkin mereka tahu, mungkin saja tidak. Aku tidak memaksamu untuk melakukan amanatku, aku hanya berharap.

Harusnya aku tidak usah berharap apapun pada siapapun, benar kan, Angin? Bukankah aku sudah pernah tertampar kenyataan bahwa harapan yang tinggi akan membuahkan kekecewaan yang mendalam? Tapi seakan aku tidak pernah kapok, aku kembali berharap, berharap, dan berharap lagi.

Angin,
terima kasih karena menjadi media penyampai gelisah dan keluh kesah. Walau (mungkin) tak pernah kau sampaikan apa yang seharusnya disampaikan.



Pasuruan, 5 Februari 2014.
Dari temanmu yang selalu ada saat sepi sendiri.

Selasa, 04 Februari 2014

Yang Kumis Tipis Jangan Sampe Lolos #4


Halo, Satria Ramadhan.

Entah darimana asal mula aku menemukanmu dalam dunia yang kita sebut Twitter. Yang kuingat, saat aku mulai membiarkanmu memenuhi linimasaku, tawa dan senyum kerap menghiasi hari-hariku. Setiap kata yang kau tulis tidak pernah gagal membuatku, paling tidak, tersenyum. Kalimatmu lucu, selucu avatar yang diam-diam kusimpan. (Eh, kalau aku memberitahumu seperti ini, sudah tidak diam-diam lagi, ya?)

Jangan salah sangka mengira bahwa aku mengagumimu karena avatar yang rupawan itu. Aku mengagumi keindahan tulisan-tulisan dalam akun Twittermu juga blog pribadimu yang menjadi tab favorit web browser-ku. Namun bukan berarti, aku tidak mengagumi indahmu yang lain. Kau punya hal-hal yang kusuka: kumis tipis, alis tebal, dan kacamata.

Kau tahu, Satria, aku pernah cemburu. Ketika itu kau sedang heboh-hebohnya dengan salah satu peserta ajang pencarian bakat di televisi yang, kuakui, memang cantik dan bersuara merdu. Mulanya aku berpikir bahwa kau mungkin sekadar ngefans dan mengirim twit-twit lucu untuk menarik perhatiannya. Namun saat ia ternyata juga meresponmu, aku... marah. Aku merasa tersaingi (oke, ini seharusnya tidak kukatakan), apalagi saat kutau bahwa dia berdomisili di kota yang sama denganku menimba ilmu. Terlebih bahwa ia adalah teman sahabatku. Seperti wanita-wanita lain yang sedang jealous, tentu saja aku langsung mencari informasi tentang wanita yang mampu membuatmu memandangi iPad seharian demi menonton videonya. Saat kuberhasil menemukan beberapa informasi tentangnya, sempat aku memaki, "Ah, dia suka foto selfie." "Ah, caption fotonya nggak nyambung." "Ah, dia alay, ngobrolnya pake RT."

Aku tau aku bukanlah seseorang yang penting untukmu dan tidak seharusnya aku marah maupun cemburu. Aku tidak berhak, begitu bukan? Tapi entahlah, Satria, kau mampu membuatku melakukan hal-hal konyol yang seharusnya tidak kulakukan untuk seseorang yang tidak pernah kutemui sebelumnya.

Pernah suatu ketika, aku mengirimkan twit untukmu di satu pagi, dan kau membalasnya. Bukan dengan RT, melainkan reply. Tentu saja aku senang, aku merasa istimewa. Yah, walaupun mungkin tidak hanya aku seorang yang mendapatkan reply darimu. Twit di pagi hari darimu seolah penyemangat untukku menjalani hari. Begitu pula saat kau membalas twitku di malam pergantian tahun. Twit balasanmu yang hanya berisi tawa, seakan menerangi awal tahunku. Hahaha, maaf ya, Satria, sampai di kalimat ini, aku merasa surat cinta ini kian ke mari kian lebay dan kata-katanya mulai menjijikkan.

Terima kasih karena memberiku lengkung senyum melalui kata-kata dan kumis tipismu, wahai aa kumis tipis.



Pasuruan, 4 Februari 2014.
Dari @rzkynndy yang tidak akan membiarkanmu lolos.

Senin, 03 Februari 2014

Aku Mangkel #3


Selamat malam.
Sesungguhya malam ini, aku tidak pada kondisi ingin menulis surat untuk siapa-siapa. Mungkin surat kali ini kutujukan untuk diriku sendiri, yang sedang dikecewakan.

Kalian pasti pernah merasa kecewa, ketika sesuatu tidak berjalan sesuai keinginan. Ketika ekspektasi berbanding terbalik dengan realita. Ketika hati yang rapuh dengan sengaja digores oleh luka. Namun, siapa sih, yang ingin merasa kecewa dan dikecewakan di dunia ini? Tak satupun.

Untuk perasaan kecewaku, aku persilakan ia untuk meluap melalui surat ini; yang kutulis sebagai penanda bahwa aku pernah sekecewa ini. Tapi tak akan kuberikan ia panggung untuk menguasaiku, karena sesungguhnya emosi dan amarah yang membaur akan membuat seseorang hilang pikiran sehat saat ia dibiarkan menguasai jiwa raga.

Kepada kau yang mengecewakanku, terima kasih karena membuatku rasakan hal ini lagi.



Pasuruan, 3 Februari 2014.
Dari aku yang dengan bodohnya sempat berpikir kau takkan pernah mengecewakanku.

Minggu, 02 Februari 2014

Untuk yang Setia Menemani Tujuh Tahun Terakhir #2


Halo, selamat malam.
Aku tidak pernah menyangka akan menulis sebuah surat cinta untukmu. Terpikir untuk mencintaimu sedalam ini saja tidak, apalagi untuk menyempatkan waktu merangkai kata.

Maafkan aku karena baru mulai menyayangi dan menjagamu beberapa tahun belakangan. Padahal kau selalu ada di saat-saat bahagiaku, sedihku, marahku, juga tangisku. Kau selalu memposisikan dirimu sebagai sahabat terbaik di kala sepi, kala aku bosan dan butuh tempat untuk membunuh kebosanan. Kau tidak pernah mengeluh bahkan marah padaku, ketika aku dengan sengaja memukulmu (tentu saja hanya ketika aku sedang penuh amarah). Kau juga selalu berada di sana ketika aku sedang sumpek, stres akibat deadline tugas-tugas yang tak kenal ampun. Kau selalu menjadi pendengar yang baik atas segala cerita-cerita sampahku, yang belum tentu orang lain mau mendengarkan. Tidak peduli betapa kacaunya aku, kau selalu menerima keadaanku apapun itu.

Aku tidak tahu apa yang kupikirkan selama ini hingga tidak menghargaimu sedemikian rupa. Itu memang aku yang egois, yang hanya memikirkan perasaanku sendiri tanpa memikirkan bagaimana rasanya menjadi engkau yang kucampakkan, kemudian kupungut kembali ketika aku membutuhkanmu. Tapi kau selalu (berusaha) terlihat baik-baik saja, seakan segala tingkah laku jahatku tak pernah melukai jiwa ragamu.

Kau memang hebat. Pendamping terhebat setidaknya dalam tujuh tahun terakhir. Beberapa waktu aku melupakanmu, tak menganggapmu ada, namun kau selalu berkata, "Tidak apa-apa, aku akan selalu berada di sisimu."
Kau memang kuat. Beberapa waktu aku memukulmu, menendangmu, membuatmu jatuh, tapi tak sekalipun kau menangis, apalagi terpikir untuk membalas segala perilaku burukku. Aku mungkin takkan pernah tahu seberapa perih lukanya, karena kau selalu tegak berdiri di hadapanku dengan senyuman. Dan aku, tidak pernah mengucapkan "Maaf." walau satu kali saja.
Kau memang luar biasa. Dari mereka yang pernah mendampingiku selama ini, kaulah yang terlama. Kaulah yang bertahan hingga kini. Kaulah yang tak pernah ingin untuk meninggalkanku. Kaulah yang setia mendengarkan segala keluh kesah tanpa terbesit satu keinginan untuk mendapat balasan.

Satu tahun terakhir ini, aku menyadari segala kesalahanku padamu. Aku begitu jahat, sedangkan kau begitu baik. Aku masih ingat, bagaimana awal pertemuan kita. Aku langsung jatuh hati padamu. Dua tahun pertama, aku sangat menyayangimu. Tak ada pikiran-pikiran licik untuk mencoba mengganti posisimu dengan yang lain. Selama itu, kau menjadi penyemangat untukku merampungkan tulisan-tulisanku. Melanjutkan kembali cerita-cerita yang kuinginkan menjadi sebuah novel. Kau juga mengajariku bagaimana membuat sebuah aransemen lagu, bagaimana menciptakan satu gambar yang indah, bagaimana memperbaiki foto yang kurang apik, dan banyak hal lain yang secara tak langsung kau ajarkan padaku.

Maafkan aku atas semua kejahatan yang pernah kulakukan padamu. Maaf karena aku tidak bisa menjagamu dengan baik. Maaf karena aku sempat menyingkirkanmu dan menggantimu dengan yang lain. Maaf karena aku tidak bisa menjadi pendamping yang baik untukmu. Maaf karena aku tidak berusaha meminta maaf untuk kurun waktu yang cukup lama.

Walaupun kini kau telah menjadi pendamping adikku, aku tidak akan pernah melupakan semua kebaikan dan jasamu padaku dalam tahun-tahun yang penuh kenangan. Semoga adikku dapat menyayangi dan menjagamu dengan baik hingga akhir hayatmu, dan tidak mencampakkanmu ketika ia sudah mendapat yang baru seperti yang pernah kulakukan dulu.



Pasuruan, 2 Februari 2014.
Teruntuk Laptop BenQ Joybook C42E,
dari pendampingmu dulu yang kini hanya bisa menjagamu dari kejauhan.