Rabu, 29 Mei 2013

#27. Lubang Besar

Halo.

Setelah tak dapat pejamkan mata untuk sekian lama malam tadi, siang ini aku terbangun. Dan, uh, dapat kurasakan lubang besar di hati yang timbulkan sakit seketika aku buka mata.

Mengingatmu lebih memilih dia untuk tidak kau sakiti dan memilihku untuk kau sakiti sungguh melebarkan luka. Aku masih tidak habis pikir, bagaimana bisa kau pilih dia yang baru kau kenal beberapa bulan saja sedang aku yang mengenalmu beberapa tahun lamanya dan menunggumu hingga saat ini kau buang demi dia. Dia yang baru saja akhiri kisahnya dengan lelakinya, yang kemudian langsung menghamburkan diri dalam pelukmu. Dan, kau buka tanganmu lebar-lebar untuk menyambutnya.

Di mana akal sehatmu?
Tega sekali kau sakiti aku yang katamu, ibu dari anak-anakmu kelak.

Ah, katamu?
Aku sudah tak percayai lagi kata-katamu.
Kau bilang akan cintaiku selamanya.
Selamanya?
Aku sudah tak percayai lagi kata selamanya.
Cinta?
Apalagi.

Aku ingin bergerak meninggalkanmu, tapi hati ini selalu tahu bahwa hanya kau tempat berlabuh.

Seorang teman pernah berkata,
"Berlayarnya kemana-mana, mungkin juga berdiam agak lama, tapi homesick pasti ada. Dan ujung-ujungnya, berlabuh di pelabuhan yang sama"
Seketika juga yang kuingat adalah kau.
Aku bodoh karena berharap akulah pelabuhanmu.
Aku bodoh karena berharap akulah rumahmu.
Karena bagiku kaulah pelabuhanku. Rumahku. Tempat di mana aku meninggalkan hatiku.

Sudahlah, aku tak ingin lanjutkan kesakitan ini.
Tegaskan padaku bahwa kau memilih dia, bukan aku.
Agar jalan untukku mencari pelabuhan dan rumah baru terasa lebih ringan dan mudah.




Walau nyatanya aku tak ingin.


Tertanda,
Aku.

#26. Pilihanmu

Halo.

Akhirnya kutulis lagi surat untukmu.
Berat, memang.
Namun kini kau pun telah baca semua surat-surat ini, kan? Apa yang sudah kau pahami dari sekian banyak surat tak terkirim ini? Apa yang sudah kau tahu dari sekian panjang tulisan yang didasari oleh kenangan ini? Bagaimana perasaanmu setelah membacanya? Akankah kau baca kembali surat ini kala kau teringatku?

Masih begitu banyak pertanyaan.
Namun, tak akan pernah sanggup terjawab karena kau takkan pernah menjawabnya.
Bahkan ketika kau jawab pun, pertanyaan-pertanyaanku takkan pernah usai dan akan kembali terulang oleh kalimat-kalimat yang sama. Mungkin kau akan bosan mendengarnya, tapi aku tak bisa bosan mempertanyakan semua yang telah terjadi pada kau dan aku. Juga, dia.

Aku sedang tak ingin ceritakan sedalam apa luka yang masih segar dan entah kapan akan mengering. Terlalu perih.

Bahkan kini melihat wajahmu pun aku tak sanggup.
Wajah itu, ya, wajah yang kini tak lagi cintaiku.
Wajah yang kini putuskan untuk menyakitiku dengan penuh kesadaran dan kesengajaan.
Wajah yang kini putuskan untuk lanjutkan hidup dengan seseorang yang baru dikenalnya beberapa bulan silam.
Entah apakah wajah itu masih ingat siapa dan bagaimana seseorang dalam hidupnya dulu menemani masa-masa bahagia dan sulitnya tanpa ada secuil keinginan untuk pergi.

Apa yang sedang kau pikirkan?
Dia, yang baru saja akhiri hubungan dengan kekasihnya, dengan mudah kau jadikan bagian hidupmu dan dengan sadarmu kau lindungi dia dari luka yang kau sebabkan.
Sedangkan aku, yang sudah sekian lama kau kenal dan mengenalmu, yang telah temani kau dalam waktu tersulitmu pun kau lukai begitu saja dengan sangat sadar.

Sungguh, aku tak menyangka kau akan berubah menjadi sejahat ini.
Mengapa harus dia?
Mengapa bukan aku yang kau lindungi?
Mengapa kau pilih untuk melukaiku?
Mengapa kau pilih untuk tak melukainya?
Kau bilang tak ingin lukai siapapun. Namun pada akhirnya, itu aku yang kau sakiti. Dengan sadarmu.

Coba bayangkan sakitnya menjadi aku.

Andai saja aku tak cintai kau sedalam ini. Mungkin sakit yang terasa juga tak akan seperih ini.

Hiduplah dengan baik bersama pilihanmu.
Doakan saja semoga nganga yang tak lekas mengering ini segera tertutup.


Tertanda,
Aku.

Kamis, 09 Mei 2013

#25. Ini Harimu

Halo.

Selamat ulang tahun, untuk kau.
Aku ingin ucapkan ini dan itu serta ceritakan bagaimana aku (akhirnya) bertemu kau setelah sekian lama kupendam rasa rindu karena tak memandang wajahmu.
Namun sayangnya, hati ini terluka. Rasanya perih. Sakitnya dalam. Aku tak sanggup tuliskan banyak kata. Tanganku sibuk menyeka tetesan-tetesan yang kurasa kini dapat membuat mataku bengkak bak bola tennis.

Selamat untuk 'kita'mu yang baru.
Aku di sini akan berusaha memupuskan harapan-harapanku untuk 'kita' yang dulu.


NB:
Mungkin ini surat-tak-terkirim terakhirku untukmu, mungkin juga tidak. Aku hanya tak sanggup jabarkan betapa laranya perasaan ini. Aku menyesal telah bohongi perasaanku sendiri. Telah bohongi engkau dan dunia untuk sedemikian lama. Telah berpura-pura berikan restu untuk 'kita' baru punyamu. Kurasa aku perlu waktu untuk obati nganga lebar dalam hati.


Tertanda,
Aku.