Sabtu, 13 Juni 2015

#29. Kau Yakin?

Hai, Sayang.
Sudah sekian lama kau mempertahankan rasa nyamanmu; kesendirianmu. Aku tahu, dalam kurun waktu selama itu, kau memang sengaja tidak mempersiapkan ruang kosong di sana untuk siapapun. Aku juga tahu kalau kau tidak ingin mencari kunci untuk membuka pintu yang sengaja kau tutup rapat-rapat, bukan begitu? Aku pun tahu, banyak yang datang menawarkan bantuan untuk membersihkan sisa-sisa puing pada kekosongan itu. Bermanis-manis dengan harapan dapat memberimu kunci yang tepat. Namun kau tidak bergeming, dengan mantap membuat mereka berpaling.

Tetapi, bagaimana kabarmu kini, Sayang? Telah yakinkah kau akan kunci yang saat ini berada dalam genggaman?

Beberapa orang terkejut dengan keputusanmu mengambil kunci yang ditawarkan olehnya. Ini bukan seperti kau yang kukenal. Aku terlalu mengenalmu untuk kemudian berusaha memahami apa alasan di balik keinginanmu menerima kunci ini. Pintumu terlalu rapat, Sayang. Tidak sembarang kunci dapat membukanya.

Sejujurnya kukatakan, aku masih melihat garis-garis keraguan pada raut wajahmu kala kau mencoba membuka pintu. Apakah ini kunci yang tepat? Apakah aku tak akan menyaksikan ruang ini runtuh lagi, meninggalkan puing-puing? Apakah kunci ini akan menuntunku menuju sebuah rumah? Pertanyaan-pertanyaan itu dengan jelas kusaksikan saat menatap kedua matamu.

Dengan kunci yang ada pada tanganmu sekarang, itu berarti kau harus membuat satu keputusan: entah mencoba membuka pintu itu dan membuktikan apakah yang kau genggam saat ini memanglah kunci yang tepat, entah membuang apa yang kau genggam saat ini jauh-jauh dan menjaga pintu itu tetap rapat hingga temukan satu yang mampu membukanya. Jangan ragu, yakinkan dirimu, Sayang. Kau tak perlu terburu-buru, nikmati saja waktu yang ada.

Sekali lagi kuingatkan, tak perlu terburu-buru. Aku tak ingin kau menyesali keputusanmu di kemudian hari, apalagi sampai melihatmu membereskan puing-puing baru. Sudah cukup aku melihatmu terseok, susah payah membangun kembali apa yang telah hancur. Jangan lagi ada yang sengaja merusak apa yang kau bangun selama ini.

Janganlah kau genggam kunci itu terlalu erat, Sayang. Santai saja. Teguhkan dulu keyakinanmu. Kalau kau sudah mantap ingin membuka pintumu dan merobohkan tembok-tembok yang menghalanginya, lakukan saja. Masukkan kunci itu.
Namun jika kau rasa ini bukanlah hal yang benar, kau boleh lemparkan kunci itu jauh-jauh.

Aku di sini mendoakanmu, Sayang. Untuk segala upayamu menjaga diri agar tak lagi tergores. Untuk segala keputusan terbaik. Untuk segala kebahagiaan batinmu.


Tertanda,
Yang paling mengenalmu.

NB: Semoga ada yang berkeinginan membantumu merobohkan dinding-dinding kokoh itu dengan senang hati dan tanpa paksaan, ya.

Sabtu, 28 Februari 2015

Last But Not Least #30


Sore di penghujung Februari kuhabiskan dengan segelas kopi panas dan lantunan tembang milik Adhitia Sofyan yang judulnya menggambarkan cuaca kotaku saat ini, After the Rain. Tak terasa, sudah tiga puluh hari aku menuliskan pucuk demi pucuk surat cinta. Tiga puluh hari pula kau dengan sigap mengantarkan kata-kata cinta dari dan untuk para pecinta.

Aku pasti rindu saat-saat di mana aku harus temukan orang yang akan kutulisi surat. Saat-saat di mana tenggat waktu pengiriman surat tinggal beberapa menit dan aku belum memiliki ide akan kata-kata cinta yang harus tersusun. Saat-saat di mana aku menunggu komentar sang pengantar surat di kolom paling bawah tiap surat-suratku.

Kau selalu membaca rangkaian kata yang kutulis. Juga yang ditulis para pecinta lainnya. Setiap hari. Tanpa lelah. Tanpa keluhan. Tanpa luput meninggalkan satu dua kata semangat pada kolom paling bawah surat-surat. Di sela kesibukanmu, kau tidak melupakan kami para pecinta. Kau membuat kami merasa dihargai, merasa diapresiasi. Suntikan semangat darimu untuk tetap giat menorehkan kata cinta; itulah yang membuatku, kami, terpacu untuk menuntaskan program ini dengan sesempurna mungkin: mengirim tiga puluh surat tanpa jeda bahkan satu haripun.

Aku sangat berterima kasih atas waktu yang kau sisihkan untuk surat-surat kami. Kutahu itu tidak mudah. Bisa jadi malah sedikit memusingkan, membaca sekian banyak tumpukan surat yang entah berisi curhatan (seperti mayoritas suratku) entah berisi ungkapan. Sepenggal terima kasih saja rasanya tak cukup untuk membalas jasamu 'mengantarkan' surat-surat kami selama tiga puluh hari terakhir ini. Ah, andai saja aku dapat menghadiri kopi darat esok dan memelukmu, aku pasti akan memelukmu erat dengan bertubi-tubi terima kasih.

Namun, sementara ini, izinkan aku untuk mengucap terima kasih walau hanya melalui surat, kak Ika. Terima kasih karena mengapresiasi tiap huruf yang kami coretkan dalam surat-surat cinta ini. Terima kasih karena telah menjadi tukang pos yang sangat istimewa. Terima kasih karena menjadi jembatan untuk kami ungkapkan perasaan. Terima kasih untuk semua yang telah kau sempatkan, kak. Semoga aku bisa membalas kebaikanmu suatu saat. Sukses untuk segala cita dan cintamu. Ku-aamiin-kan segala semoga yang diterbangkan untukmu. Sampai jumpa tahun depan, kak Ika. Sekali lagi, terima kasih.


If somewhere down the line,
we will never get to meet...
I’ll always wait for you after the rain.




Pasuruan, 28 Februari 2015.
Rizky Nindy Lestari.


NB:
Tahun ini, aku mengulang keberhasilan istiqomah tahun kemarin, kak. Tak sabar ingin segera mengulangnya lagi tahun depan!

Jumat, 27 Februari 2015

Terlambat? #29


Harusnya aku tak terkejut saat kau berkata, "Aku membaca semua suratmu. Aku tahu itu untukku, meski tak pernah satu suratpun kau sebut namaku di situ."
Ya. Harusnya aku sudah mempersiapkan diri saat kutahu kau membaca semuanya. Semuanya, tak tertinggal barang satu atau dua surat. Ah, bukankah ini berarti kau membaca semua ungkapan hati?

Tapi tak ada yang lebih mengejutkan daripada kalimat-kalimatmu yang muncul setelah sebuah hening lama antara kita.
Kini kutahu, kau juga rasakan yang sama terhadapku. Bahkan jauh sebelum aku menyadari perasaanku sendiri. Haruskah aku bahagia karena kecurigaanku terhadap 'penolakan' yang kau berikan beberapa hari ini tak terbukti? Atau haruskah aku menyesalinya karena tak ungkapkan lebih awal?

Aku tak bisa putuskan mana ekspresi yang harus kupilih hingga kau membuka suara; menyusun kata menjadi cerita yang menggores hati perlahan, tanpa henti. Aku bahkan bisa rasakan sayatan-sayatan yang tak hasilkan darah, dengan pedih yang sangat nyata. Luka ini membelenggu bibirku, menahannya untuk tak lontarkan kalimat kesakitan. Tenggorokanku tercekat, ingin teriakkan kesedihan walau tak mampu. Mataku berat menggenggam bongkahan air mata yang kupaksa untuk tinggal. Jangan jatuh, kumohon. Namun mau tak mau, getar yang timbul dari kedua bahu membuatnya terlepas. Detik itu juga, kubiarkan tetesan ini mengalir deras. Kubuka genggaman akan semua gundah hingga lega. Walau pada akhirnya, hatiku semakin terluka.

Kau bilang, kau tak ingin menceritakannya padaku karena kau masih simpankan aku ruang dalam dada. Kau bilang, kau tak pernah yakin, apakah aku rasakan hal yang sama ataukah hanya perasaanmu saja. Kau bilang, ingin rasanya mendekapku erat sebelum semua ini terjadi.
Sebelum kau tahu perasaanku.
Sebelum kau putuskan untuk bersamanya.

Aku... terlambat.

Saat ini kau telah berdua. Tak lagi sendiri. Tak lagi bisa sempatkan waktumu untukku kapan saja. Tak lagi ada kemungkinan untuk kita bersama.

Tidak apa-apa. Menyayangimu sebagai seorang teman saja sudah menjadi hal yang istimewa. Aku yang keterlaluan, menodai pertemanan kita dengan ungkapkan apa yang tak seharusnya diungkapkan. Berbahagialah bersamanya. Aku di sini mencoba untuk tulus mendoakan bahagiamu. Meski bukan aku yang menemanimu.

Hapuslah cinta antara kita berdua,
karena kau sudah ada yang punya.
Biarlah diriku memendam rasa ini...
jauh di lubuk hatiku.



Pasuruan, 27 Februari 2015.
Dari yang (masih) menyimpan harap.

Kamis, 26 Februari 2015

Mbuh. #28


Aku ingin teriak. Lepaskan tumpukan amarah dalam dada. Legakan bulir-bulir emosi yang berjejalan tak karuan. Geramku sudah cukup beralasan untuk tautan alis yang timbulkan tikungan tajam. Nafas yang memburu seolah menjadi penanda betapa jengkelnya hati ini.

Aku tak tahu berapa banyak alasan lagi kau ucap tiap kecewakan diri. Aku sudah bosan. Aku bahkan tak tahu harus pekikkan apa untuk perasaan yang berkecamuk. Bicara denganmu toh percuma saja, buang buang waktu.

Dengar, kau tak seberharga itu untuk waktu-waktu berhargaku. Jangan terlalu percaya diri. Aku tak menyesalimu, aku menyesali waktu yang kubuang demi seorang kau.



Surabaya, 26 Februari 2015.
Dari yang (akhirnya) marah.

Rabu, 25 Februari 2015

Untuk Ingkarmu #27


Mungkin kau sudah bosan mendengar cerita perihal perubahan yang kurasa pada lingkunganku, pada teman-temanku. Ribuan pertemuan kita lewati dengan keluh kesah mengenai ketidakadilan yang kurasa pada situasi A, mengenai kejamnya persaingan yang kualami pada situasi B, ataupun kegelisahan lain pada waktu dan tempat berbeda dengan persoalan yang masih sama.

Aku ingat pernah merajuk agar kau tidak mengubah diri seperti tokoh-tokoh yang ada pada setiap ceritaku. Aku juga ingat kau pernah berjanji untuk tidak akan berubah, sekalipun dunia berusaha mengubahmu. Aku tak akan lupa bagaimana raut wajahmu terlihat begitu meyakinkan, hingga membuatku percayai janjimu dengan mudahnya. Aku masih memegang janjimu sampai saat itu tiba; saat di mana aku merasa ada sesuatu yang mengubahmu.

Haruskah ku katakan kau ingkari janji, atau justru aku yang harus instropeksi?
Ya. Bisa saja aku yang berubah. Bukan kau. Bukan juga mereka yang selalu kusebut dalam tiap sesi bercerita denganmu.

Terlepas dari siapa yang berubah, satu kesimpulan kudapat: semua orang berubah. Tidak satupun hal dapat mencegahnya. Tidak satu kalimat janji yang kau ucapkan dapat mencegahnya.

Kau beriku alasan, 'Aku sedang mencoba mengerti diri sendiri, sebelum aku bisa mengertimu.' saat aku bertanya-tanya akan perubahanmu.
Haha. Kau bukan pembohong yang handal rupanya. Kau tahu, aku tahu, dunia tahu, bahwa hanya kau yang paling mengertiku. Yang paling memahamiku melebihi diriku sendiri. Tidakkah kau masih ingat, siapa yang pertama kali menawariku tempat untuk tumpahkan beban saat aku justru terlihat sangat baik-baik saja dengan senyuman paling ceria yang kutampakkan? Tidakkah kau masih ingat, siapa yang berkata, "Matamu tidak menampakkan kebahagiaan. Tidak usah berusaha tegar." saat aku menyambutmu dengan senyuman paling lebar?
Hei, itu kau. Itu kau yang mengerti segala titik kecil pada diri. Itu kau yang mengerti perasaan hati. Kau sangat mengertiku, tak usah kau coba bohongi aku dengan memberi dalih yang dapat terbantahkan dengan begini mudah. Akuilah, kau (atau mungkin aku) memang berubah. Tak usah beri penjelasan mengenainya.

Apapun alasanmu mengingkari janji, aku harap itu bukan karena hal-hal yang kita lalui beberapa hari ini.



Pasuruan, 25 Februari 2015.
Dari yang tak lagi merasa sama.


NB: Aku punya satu lagu untukmu selagi kau baca surat ini: Keane - Everybody's Changing.

Selasa, 24 Februari 2015

Jawablah! #26


Akankah ada beda, jika aku tuliskan surat yang kompleks ataukah sederhana?
Akankah kau memerhatikan, ataukah kalimat-kalimatku terasa menjemukan?
Akankah kau simpankan sedikit ruang untukku, ataukah coba mencari kunci lain yang cocok buatmu?
Akankah senyuman ku dapat, ataukah rengut yang terlihat?
Akankah harapan tercapai, ataukah mimpi terpaksa usai?

...

Jangan senang dulu. Masih banyak 'akan' yang menggerogoti pikiran. Tapi kali ini, cukup itu saja. Beritahu aku kalau kau sudah miliki jawabnya.



Pasuruan, 24 Februari 2015.
Dari seorang penuh tanya.

Senin, 23 Februari 2015

Bukan Kita #25


"Kejutan!"
Kalau daun dan bunga-bunga di pekarangan rumahku bisa bicara, mungkin itulah yang akan mereka katakan saat aku membuka pintu dan menemukan sosokmu di hadapan. Setelah satu minggu kau lenyapkan diri, malam tadi kau putuskan untuk muncul kembali. Lengkap dengan senyum yang biasa kau suguhkan padaku. Ada apa sebenarnya? Kau tak berniat memberi harapan padaku, bukan? Atau, ada alasan lain di balik kehadiranmu yang tiba-tiba?

Satu minggu tak menjalin komunikasi, aku merasakan sedikit perubahan padamu. Kau lebih pendiam. Tak seperti biasanya. Entahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Mungkin juga kau coba menyesuaikan diri dengan keadaan kita sekarang; keadaan di mana rasa canggung menyeruak hingga membuat sesak. Aku sadar, kemarin aku juga tak berbicara banyak. Kau tahu, sesungguhnya aku benci bersikap kikuk denganmu. Terasa seperti hanya ragaku yang menjumpaimu, sendiri tanpa ditemani jiwa yang melanglang entah ke mana.

Bukankah kau rasakan hal serupa; kau yang bukan kau dan aku yang bukan aku. Ke mana perginya jiwa mereka berdua? Bukankah seharusnya keadaan kita tetap baik-baik saja? Toh, hanya satu minggu kita hilang kontak. Satu minggu. Waktu yang terlalu singkat untuk kekakuan yang kita hadirkan kemarin.

Seharusnya kita bisa bersikap biasa saja, bersikap seolah-olah kau tak pernah tahu perasaanku dan aku tak pernah ungkapkannya padamu.

Dua jam yang kita lalui kemarin bak kemarau panjang. Kering, sepi, tiada guyonan segar. Sesekali kau lontarkan gurauan, yang kemudian diiringi tawa kecil dari bibirku. Ah, ada yang salah pada kita. Kemarin malam itu bukan kita, bukan. Kita yang kutahu selalu memecahkan suasana hingga lupa waktu. Kita yang kutahu tak pernah malu-malu lemparkan ejekan pun pujian. Kita yang kutahu tak pernah ciptakan keheningan yang perlahan mematikan senyuman. Ke mana kita yang itu?

Aku rindu kita.

Andai kutahu semua akan berakhir seperti ini, pasti tak akan kuizinkan perasaan ini bertumbuh. Apalagi memberitahumu tentangnya.



Surabaya, 23 Februari 2015.
Dari yang tak ingin berubah.

Minggu, 22 Februari 2015

Terlalu Jauh #24


Banyak kata yang ingin kusampaikan padamu. Tapi toh percuma, kau takkan pernah menganggapku ada. Bagimu, aku hanyalah satu dari sekian banyak rupa yang mengagumimu. Tak berhak dapatkan keistimewaan untuk perhatianmu. Bahkan untuk sampaikan kata rindu saja terasa mahal. Apa lagi untuk sederet kata-kata (yang menurutmu) bualan yang sudah lama kusimpan.

Kau sedikit terlalu jauh dari jangkauanku.

Apalah aku ini, hanya seorang gadis biasa dengan harap berlebih. Dengan ketulusan cinta yang senantiasa kau ragukan. Mungkin kau berpikir aku terlalu sombong, terlalu percaya diri untuk memproklamirkan cinta yang tulus dari hati.

Ah, cinta?
Rasanya aku salah memilih diksi. Kau kan, tidak percaya cinta.



Surabaya, 22 Februari 2015.
Dari yang ingin membuatmu percaya.

Sabtu, 21 Februari 2015

Jangan (Sok) Kuat #23


Barangkali ada penghargaan untuk Perempuan yang Tak Ingin Melukai Hati Siapapun, mungkin penghargaan itu akan dengan sendirinya berlarian menujumu. Bukan tanpa sebab aku berkata demikian, lihatlah dirimu. Selalu berusaha untuk berkata "Ya" pada mereka yang kau jumpai. Entahlah, apakah ada sesuatu yang mengganjal jika satu kali saja kau ucapkan "Tidak"?

Tak ada maksud untuk mencampuri urusanmu. Siapalah aku ini yang berhak mendiktemu perihal apa yang harus dan tak harus kau lakukan. Ini hidupmu, terserah padamu akan kau apakan sisa usiamu nanti. Namun aku terlalu menyayangimu untuk membiarkan kau menyenangkan hati orang lain, tapi melupakan kebahagiaan diri. Kau boleh saja mencoba bahagiakan aku, kami, mereka. Tapi kau tak boleh lupakan batinmu. Aku tak ingin terkesan menggurui, tapi ingatlah satu hal: jika kau mencoba untuk senangkan orang lain, satu-satunya orang yang kau kecewakan adalah dirimu sendiri.

Sudah berulang kali aku membujukmu untuk rehat sejenak dari rutinitas yang terlihat tanpa henti itu. Berulang kali pula kau yakinkan aku bahwa kau kuat, kau baik-baik saja, kau masih sanggup. Padahal sorot matamu memberitahuku, kalau kau butuhkan tempat bersandar. Kau butuhkan tempat berbagi barang sebentar. Kau butuhkan tempat menopang beban.

Aku tahu kau selalu inginkan yang terbaik untuk semua orang. Tapi kau juga tahu kan, tidak semua orang memahami usahamu. Terlampau sering kita memperdebatkan persoalan kau-tak-harus-selalu-ucapkan-ya. Tapi percuma saja beradu argumen denganmu. Kau seakan punya segudang alasan untuk meyakinkanku, juga orang-orang di luar sana, bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa kau siap membantu. Bahwa kau punya waktu luang yang tak terhingga. Bahwa stok tenagamu selalu terisi penuh.

Akuilah saja, kau tidak sekuat itu.
Tidak ada manusia yang sekuat itu, tak peduli bagaimanapun kau coba tanamkan sugesti dalam benak. Sudahlah, kau tak perlu risau. Masih ada aku dan mereka yang menyayangimu, yang memerhatikan kesehatanmu.

Jangan terlalu paksakan dirimu, mbak Nit. Bahkan Allah melarang kita untuk mendzalimi diri sendiri, begitu bukan?
Mari sejenak kita lupakan kewajiban untuk membahagiakan tiap jiwa. Dan mulai membahagiakan apa yang sepatutnya dibahagiakan: batin dan raga yang terlupakan.



Surabaya, 21 Februari 2015.
Dari yang berada di sebelahmu saat menulis surat ini.

Jumat, 20 Februari 2015

Yang Tak Pernah Kecewakanku #22


Andai suatu hari ada yang menanyaiku, "Siapa yang tidak pernah mengecewakanmu?" tentu aku akan menyebut namamu. Bagaimana tidak, setiap kali aku merasa dikecewakan dunia, kau selalu mengangkat semangatku, membuatku takjub dengan kejutan lain yang kau beri. Kau tidak pernah ingkar janji; salah satu dari sekian banyak alasan mengapa kau tidak pernah membuatku kecewa. Kau sangat mengenalku untuk tahu bahwa kata kecewa itu sendiri dapat mengecewakanku. Sebab itulah kau tidak pernah membuatku teringat oleh kata itu.

Kau selalu tahu apa yang kumau. Suatu ketika sebuah band favorit dijadwalkan untuk tampil di kotaku. Kau bisa lihat luapan semangat saat aku menunggu detik-detik bertemu idola. Walau aku tak pernah membicarakan harapanku saat bertemu sang idola denganmu, kau tahu pasti apa yang kuinginkan. Dengan segala usaha yang kulakukan, kau menyemangatiku. Mendorongku untuk menggapai harapan-harapan yang kugantungkan. Ketika keadaan terlihat tidak membantuku untuk mencapai semua ingin, kau dengan tanpa basa-basi memberiku bantuan. Tiada lelah kau menolongku hingga harapan-harapan kugapai. Kau tentu masih ingat, betapa gembiranya aku saat itu hingga berteriak kencang; kegirangan. Kau hanya tertawa melihat tingkahku. Lalu kuhampiri kau seraya lontarkan ratusan syukur dan terima kasih untukmu. Lagi lagi, kau tidak mengecewakanku. Atau lebih tepatnya, tak ingin melihatku kecewa.

Banyak hal yang telah kita lalui. Hal-hal seperti malam di mana aku menantikan penampilan 5 Seconds of Summer di sebuah acara televisi. Kau tentu tahu kalau aku tak akan melewatkan apapun yang berkaitan dengannya. Namun tiba-tiba saja hujan datang. Angin kencang yang menyertai membuat antena televisi tidak dapat menangkap sinyal elektromagnetik dengan baik. Jadilah, semut-semut mengerubungi layar diiringi dengan suara mendesis yang amat mengganggu pandangan. Aku kesal, tapi masih tak henti membumbungkan harap agar hujan segera reda. Atau setidaknya, ia tak mengganggu keasyikanku memandangi 5SOS nantinya.
Dan, sekali lagi, kau tidak mengecewakanku. Tepat beberapa menit sebelum band asal Australia itu tampil, layar televisi kembali normal. Kembali menampilkan gambar dan suara yang jelas. Sejelas rasa cintaku padamu. Pada kau yang tak pernah ingin melihatku kecewa.

Kau tahu, dalam menjalani hidup, aku tak ingin ambil pusing ketika beberapa teman, kerabat, atau bahkan keluarga membuatku bersedih. Membuatku mengingat kata kecewa. Namun kau juga tahu kan, aku hanyalah manusia biasa. Tempatnya salah dan lupa. Tak mudah bagiku untuk tak mempedulikan kekecewaan yang terasa. Tapi kemudian aku teringat ucapanku sendiri: manusia memang tempatnya salah dan lupa.

Manusia akan selalu mengecewakan, tapi Tuhan tidak.

Untuk segala kebahagiaan lahir dan batin yang kau beri, aku berterima kasih. Kau tak pernah pamrih padaku. Walau aku masih teramat sering mengecewakanmu, tak pernah sekalipun kau balas aku. Kau justru membalasku dengan tumpukan kegembiraan yang kau beri secara percuma; yang terkadang lupa kusyukuri. Maaf jika selama ini aku bersikap angkuh dan lalai akan semua kewajiban. Terima kasih karena tidak pernah mengecewakanku, Tuhan. Terima kasih.




Pasuruan, 20 Februari 2015.
Dari yang tak lepas dari salah dan lupa.

Kamis, 19 Februari 2015

Buat yang Mengantar Surat-surat #21


Selamat sore, Bosse! Bagaimana kabar hari ini? Masih semangat mengantar surat-surat dari kami--para pecinta--bukan? Aku senang sekali, akhirnya bisa mengirim (atau lebih tepatnya membalas) surat untuk Bosse.

Seperti yang aku dan para pecinta lain ketahui, Bosse dan seluruh tukang pos @PosCinta mengadakan gathering yang mempertemukan para pecinta di 1 Maret nanti. Seperti halnya tahun lalu, kota yang terpilih menjadi tempat kopi darat masih Bandung. Karena menurut Bosse, Bandung merupakan kota yang sarat akan cinta. Dan, seperti halnya tahun lalu, aku yang berdomisili di Surabaya, sayangnya tidak dapat menjumpai Bosse dan kawan-kawan pecinta lainnya. Sebab jarak dan waktu yang membentang.

Sedih? Tentu saja. Bosse tak punya ide betapa aku sangat ingin bertatap muka dengan Bosse dan para tukang pos yang saban hari tak kenal lelah menyampaikan surat-surat cinta dari masing-masing pecinta. Aku ingin tahu, seperti apakah suara merdu kak @ikavuje saat melantunkan lagu. Juga ingin tahu, seperti apa kelincahan Bosse yang seringkali lompat-lompat di tumpukan surat. Juga ingin tahu, seperti apa cinta yang ditaburkan kawan pecinta pada dunia nyata. Seandainya saja Surabaya-Bandung dapat ditempuh dalam sekejap mata, mungkin aku tak akan berpikir dua kali untuk meramaikan gathering bersama Bosse dan para pecinta. Mungkin aku tak akan sesedih ini karena dua kali absen pada acara yang paling ditunggu selama bulan Februari. Tapi, tak apa. Seperti apa yang diucap Rayi, Asta, dan Nino, "Jarak dan waktu takkan berarti, karena kau akan selalu di hati."

Bosse, kalau aku diperbolehkan meminta, aku inginkan satu saja: adakan gathering @PosCinta di Surabaya. Karena yang perlu Bosse ketahui, Surabaya tak hanya terkenal sebagai kota Pahlawan. Surabaya juga memiliki banyak pecinta yang penuh cinta. Bosse harus merasakan cinta kami. Aku serius, Bosse. Kita, pecinta dari Surabaya, memiliki banyak cinta untuk Bosse, dan, kawan pecinta lain yang mungkin masih sendiri. (Eh?)

Maaf karena harus absen lagi tahun ini, Bosse. Doakan saja tahun depan aku bisa hadir menemui Bosse dan kawan-kawan, ya!



Malang, 19 Februari 2015.
Dari yang ingin sekali hadir.

Rabu, 18 Februari 2015

Teruntuk Pemilik 18 Februari #20


Halo.
Ah, mungkin kau tak mengenalku, kak. Tapi yang jelas, kita pernah bicara. Pernah saling menyemangati satu sama lain. Pasti kau bertanya-tanya, "Ah, masa? Kapan?"
Untuk menjawab pertanyaanmu, izinkan aku menceritakannya dalam surat ini.

Saat itu, pertengahan tahun 2007 (atau mungkin 2008, aku tak begitu mengingatnya). Pertama kali aku mendengarmu di sebuah stasiun radio di mana kau menjadi penyiarnya. Di tahun itu, aku selalu menjaga frekuensi radioku agar tetap berada pada stasiun di mana aku bisa mendengar suaramu. Kau ingat tidak kak, ada satu segmen berjudul Obat Tidur? Nah, di segmen itulah kau seringkali menyemangatiku. Tak jarang, aku kirimkan pesan singkat mengenai permasalahan yang kuhadapi. Terkadang aku juga mengirimkan sekadar sapaan salam saat kau bertugas pada segmen 911, ingat? Kemudian lambat laun kau mulai mengahapal namaku yang kerap muncul pada SMS gateway radiomu. Pernah suatu ketika aku memintamu untuk menjadi kakakku, dan tanpa kusangka, kau berkata, "Boleh dong, dek Nindy."

Sejak saat itu, aku selalu menganggapmu sebagai sosok kakak buatku.

Mungkin kau sudah melupakan detil-detil kecil seperti itu, kak. Tapi aku tak akan pernah bisa lupa. Ada satu momen di mana aku kau buat bahagia bukan kepalang saat akhirnya dapat berbicara denganmu, walau memang hanya melalui sambungan telepon. Malam itu, aku tak sengaja melihatmu di sebuah stasiun teve lokal, sedang membawakan acara musik bersama satu orang host perempuan. Tanpa pikir panjang, aku pun langsung meraih gagang telepon, menekan digit-digit nomor sesuai dengan yang tertera di televisi, lalu menunggu teleponku tersambung. Satu kali telepon, belum tersambung. Aku tak menyerah. Pada percobaan kedua, seseorang mengangkat teleponku. Dalam hati aku memekik kegirangan, karena impianku untuk bicara denganmu tersampaikan. Setelah menunggu tak sampai satu menit, akhirnya aku dapat mendengar suaramu. Bukan melalui radio, bukan melalui televisi. Aku mendengar suaramu yang begitu jelas tepat di sebelah telinga. Saking gembiranya, aku melupakan apa yang seharusnya kulakukan saat menelepon acara teve itu: request lagu. Ya, setelah sang host perempuan mengingatkanku untuk menyebutkan satu judul lagu yang ingin kutonton video musiknya, pembicaraan kita pun sesegera mungkin diakhiri olehnya. Apalagi setelah aku menyebutkan nama stasiun radio tempatmu biasa menyapaku pada acara teve itu secara on air, sang host perempuan pun buru-buru menyudahi teleponku. Aku yang waktu itu belum tahu etika jurnalistik, tentu saja merasa kesal.

Tapi, mendapat pengalaman untuk berbicara denganmu saat itu sudah cukup mewah buatku. Sebuah pencapaian yang cukup prestisius untuk ukuran anak SMP yang mengagumi penyiar radio ibukota.

Kalimat-kalimat bijak yang selalu kau lontarkan tiap kali menemani pendengarmulah yang membuatku mengagumi sosokmu. Ada satu kutipan darimu yang masih kuingat hingga saat ini, ketika kau sedang memberi suntikan semangat melalui segmen dini hari itu, "Do what you love, love what you do."
Kutipan itu masih terpatri dalam benak dan menjadi patokan setiap kali aku melakukan sesuatu.

Sebenarnya, tujuanku menulis surat ini padamu tidak lain tidak bukan hanya satu, kak: ingin mengucapkan selamat ulang tahun. Selamat bertambah usia. Selamat menjalani hidup di tahun ke-dua puluh tujuh. Aku senang, tahun ini adalah tahun pertama kau melewati pergantian usia dengan adanya seorang istri di sisi. Yang membuatku lebih senang lagi adalah mengetahui bahwa istrimu merupakan sosok wanita yang selama ini memenuhi hari-hari, bahkan sebelum aku mengenalmu. Aku masih ingat hari di mana aku mengetahui perempuan yang menjadi sumber semangatmu kala itu. Kak Aiu, begitu aku pertama kali melihat namanya. Tak kusangka, kini ia menjadi pendamping hidup yang siap menemani hingga akhir hayat nanti. Untuk kehidupan baru bersama kak Aiu, aku ucapkan selamat juga ya, kak. (meski ucapan ini rasanya sedikit terlambat)

Sekali lagi, selamat bertemu usia baru, kak Yugo. Secara tulus kudoakan semoga kebahagiaan selalu bersamamu. Semoga Allah memberimu rejeki yang baik dan halal. Semoga segera diberi titipan Allah yang soleh/solehah dan lucu. Sehat selalu ya, kak. Sukses untuk semua karirmu. Sampaikan salam dan doaku untuk istri tercinta.



Pasuruan, 18 Februari 2015.
Dari pendengar setia yang masih menganggapmu kakak lelakinya.


NB:
Kalau kak Yugo tak ingat, acara musik di teve lokal waktu itu bernama Music Lyric, kak.

Selasa, 17 Februari 2015

Perasaan Apa Ini? #19


Aku pernah mendengar frasa, "Kau tak bisa kehilangan apa yang tak pernah kau miliki."
Secara logika, kalimat itu benar. Masuk akal. Namun, entahlah. Apa yang terjadi padaku seolah menepis seluruh kebenaran yang terkandung di dalamnya. Aku alami sesuatu yang, terasa seperti kehilangan, saat aku tak lagi rasakan hadirmu dalam hari-hariku.

Coba beritahu aku.
Apa kata yang pas untuk menggambarkan sesak dalam dada saat aku tak lagi dapat menjangkaumu, bahkan melalui sederet baris pesan singkat?
Apa kata yang pas untuk menggambarkan hampa yang terasa saat namamu tak lagi meramaikan ponselku?
Apa kata yang pas untuk menggambarkan sepi yang kerap kali menemani saat aku, sengaja maupun tidak, membawamu dalam pikiranku?
Apa kata yang pas untuk perasaan yang lambat laun membunuhku dengan cekat di tenggorokan, yang memaksaku untuk menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan dengan segala kericuhan yang ada dalam pikiran?

Aku tak tahu persis ini apa, tapi aku pikirkan satu kata yang pas untuk ini semua: aku merasa kehilanganmu.

Mungkin mereka pikir aku tak pernah memilikimu. Mungkin juga kau memikirkan hal yang sama. Tapi kalian salah besar. Aku pernah memilikimu, dan masih memilikimu, di dalam hatiku. Itu kau yang dengan sendirinya memutuskan untuk beranjak pergi meninggalkan lubang besar dalam dada; menghilang. Kalau aku beri penjelasan seperti ini, apakah kau setuju dengan anggapanku bahwa aku merasa kehilanganmu?

Aku memang tak pernah miliki ragamu. Tapi bagiku, perasaan kehilangan ini nyata adanya.



Pasuruan, 17 Februari 2015.
Dari seorang yang bersikeras (pernah) memilikimu.

Senin, 16 Februari 2015

Tak Sesuai Harapanmu, Ya? #18


"So you think hurting me will stop me from loving you?"

Hei, kau. Lelaki dengan sweater abu-abu.
Kau pikir dengan tiba-tiba menghilang seperti ini, dapat memudarkan perasaan untukmu?
Kau pikir dengan tiba-tiba mengabaikanku seperti ini, dapat menahan rindu yang memuncak?
Kau pikir dengan tiba-tiba menyakitiku seperti ini, dapat menghentikanku untuk tetap mencintaimu?

Maaf mengecewakanmu, tapi, kau salah besar.

Tidak kau, tidak keadaan, tidak satu hal pun dapat memaksa gejolak dada untuk menyerah. Tidak saat ini, tidak esok nanti. Maaf kalau kau tidak berkenan, tapi, aku juga tak mungkin ingkari diri sendiri.

Beritahu aku kalau kau mulai berusaha menerima kenyataan bahwa seluruh ruang di hati kupersiapkan untukmu.



Pasuruan, 16 Februari 2015.
Dari yang tidak belum merasa lelah.

Minggu, 15 Februari 2015

Alhamdulillah, Halal. #17


Minggu ini merupakan minggu yang sangat berarti sekali buatmu, mbak. Setelah hari Kamis lalu dia secara mantap memintamu lewat akad, pagi tadi akhirnya kulihat kau berdiri di sana dengan dia yang akan menemani sisa hidupmu. Dia yang telah buktikan bahwa hubungan jarak jauh tidak selamanya berakhir di tengah jalan. Dia yang siap menuntunmu menjadi wanita penghuni surga. Dia yang kini menjadi baktimu, memanggul segala kewajiban atasmu.

Kau terlihat sangat bahagia sekali di pelaminan tadi, mbak. Terlihat sangat cantik. Sumringah. Dipenuhi kebahagiaan yang insya Allah tak akan pernah luntur karena ada dia di sisi yang siap memoles bahagiamu tiap harinya. Aku tak menyangka, ternyata waktu memang bergulir cepat sekali. Rasanya baru kemarin aku menjadi fotorafer dadakan di acara pertunanganmu. Eh tahu-tahu, sekarang kau sudah menyandang gelar baru sebagai Nyonya Hady.

Di kehidupan yang amat sangat baru nanti, mbak, kau akan terbangun dengan dia di sebelah bantalmu. Akan terbangun dengan keinginan untuk membuat sarapan terbaik untuknya. Kau juga akan melewati hari-hari dengan rasa rindu yang baru. Kalau sebelumnya kau menunggu dia pulang ke kotamu, kelak kau akan menunggu dia pulang ke rumahmu; rumah kalian. Lalu menyambut dia yang letih bekerja seharian dengan senyum hangat. Memijat bahunya. Membuatkan kopi panas (hanya jika dia memang menyukai kopi). Menanyakan bagaimana harinya. Ah, saat-saat seperti itu terlihat sangat menyenangkan bukan, mbak? Bukankah kau sudah membayangkannya sejak lama? Nah, sekarang, kau akan benar-benar mengalaminya, mbak. Jangan terburu-buru menceritakan padaku perihal kebahagiaan seorang istri, mbak. Nanti aku iri. Um, mungkin lebih tepatnya, ingin.

Kalau keponakanku nanti sudah menatap dunia, jangan lupa beritahu aku ya, mbak. Aku penasaran, akan mewarisi wajah cantik ibunya, atau raut tegas ayahnya kah? Akan gemar berhitung, atau lebih suka menelaah mesin-mesin kah? Ah, tapi imajinasi ini rasanya terlalu jauh ya, mbak. Nikmati dulu saja masa-masa indah menjadi pengantin baru, mbak.

Selamat untuk kebahagiaanmu ya, mbak Shandra. Aku terbangkan doa semoga keluargamu selalu dirangkul kegembiraan dan dihujani rejeki yang diridhoi Allah. Tak lupa kulayangkan doa untuk kesejahteraan bahtera yang kalian berdua nahkodai. Badai mungkin tak dapat dihindari, tapi seperti ucapan orang bijak: untuk dapat melihat pelangi, kau harus merasakan hujan terlebih dahulu.



Surabaya, 15 Februari 2015.
Dari yang turut merasakan kekuatan cinta kalian berdua.

Sabtu, 14 Februari 2015

Sederhana Saja #16


Kau bilang, hidup tak ubahnya sebuah kamera. Fokuskan diri pada hal paling esensial dan biarkan hal lain di sekelilingmu menjadi ornamen untuk memperindah. Pagi itu, kau ucap kalimat yang kini menjadi favoritku sembari menunjukkan hasil buruanmu. Sebuah gambar di mana aku tertawa lebar dengan sebuah gelembung sabun tepat di atas kepalaku. Aku masih bisa mendengar dentuman keras yang tiba-tiba menyeruak dalam diri, yang sepersekian detik kemudian diiringi dengan gumaman batin, "Sial. Sepertinya aku jatuh cinta."

Ya. Tepat setelah ujung sikumu menyenggol lenganku, aku jatuh cinta. Tepat setelah gesekan suara rumput yang timbul akibat sepatumu, aku jatuh cinta. Tepat setelah aku tak sengaja memegang jemarimu, aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada caramu membuatku jatuh cinta; mengingatkanku bahwa kesederhanaanlah yang membuat kita bahagia.

Katamu, aku terlihat sangat lepas pagi itu. Seolah tak ada satu hal pun yang mampu membebaniku. Katamu, kau bahagia melihatku kembali lemparkan tawa pada awan dan rerumputan. Katamu, kau tidak perlu susah-susah mencari umpan untuk kamera besarmu karena senyuman yang tak letih mengembang dari bibirku. Katamu, membahagiakan aku tidak sulit: cukup mengajakku menikmati angin di lapangan penuh ilalang serta memberikan sebotol gelembung sabun seribuan. Katamu, "Kebahagiaanmu sederhana sekali."

Ya. Kebahagiaanku sesederhana mengagumi indahmu tanpa suara.

Barangkali kau berpikir aku gila, bisa-bisanya jatuh cinta pada seorang yang bahkan tak pernah berusaha membuatku jatuh cinta. Hingga kini, aku tak pernah bisa ungkapkan alasan memilihmu sebagai tempat terjatuh. Semua terjadi begitu saja. Kau bahkan (sepertinya) tidak pernah berniat membuatku jatuh cinta. Ah, aku memang aneh. Murah sekali perasaanku, disogok sebuah senyuman dengan beberapa kerutan di sekitar mata dan sebotol gelembung sabun saja sudah luluh. Padahal seharusnya aku meminta lebih, satu buket bunga mungkin. Atau, satu kotak cokelat merek ternama. Tapi nyatanya, hatiku dan tingkah lakumu seakan berkonspirasi untuk membuatku terlihat mudah. Dasar kau menyebalkan!

Asal kau tahu saja, hei lelaki penggemar warna biru. Selain tak berhenti merutuki diri sendiri karena jatuhkan hati pada sosokmu, aku juga tak berhenti semangati diri untuk tetap bertahan mencintaimu dalam kesunyian. Menjadi seorang yang menyebalkan tidak cukup untuk mengalahkan perasaan yang terlanjur tumbuh. Kalau sudah begini, kau mau apa, hm?

Maaf karena aku masih merawat perasaanku dalam keheningan ini. Mengutip Sheila on 7 –musisi favoritmu–, "Mungkin kau tak akan pernah tahu betapa mudahnya kau untuk dicintai."



Surabaya, 14 Februari 2015.
Dari yang menikmati kesederhanaan mengagumimu.

Jumat, 13 Februari 2015

Selamat Datang, Cello! #15


Teruntuk ibu dosen...
Hari ini, Allah memberi Ibu sebuah kepercayaan baru dalam wujud seorang bayi mungil nan cantik. Alisha Cheryl Zaffa An-Najwa, begitu ibu dan suami memberinya nama. Nama yang indah, tentu memiliki arti yang tak kalah indah. Untuk kelahiran Cello, saya ucapkan syukur alhamdulillah. Akhirnya penantian Ibu dan keluarga untuk memandang wajah cantiknya terjawab setelah menunggu sembilan bulan lamanya.

Walau saya belum dapat melihat Cello secara langsung, tapi saya yakin Cello pasti memiliki senyuman manis khas ibunya. Atau, jenis rambut seperti milik ayahnya. Kalau boleh saya mengira-ngira, mendengar panggilan yang Ibu dan suami berikan, mungkin nantinya Cello akan tumbuh menjadi seorang gadis pemusik. Pemain instrumen yang handal. Mewarisi bakat bermusik dari garis ibunya. Ah, sepertinya akan menyenangkan ya, Bu, memiliki seorang anak perempuan dengan kegemaran yang sama?

Selain ingin menatap cantiknya Cello, saya juga ingin melihat ekspresi bahagia Divo menyambut kelahiran adiknya. Juga raut sumringah Ibu dan suami saat merengkuh Cello dalam kedua lengan. Saya dapat merasakan aura kegembiraan yang sedang keluarga Ibu rasa sekarang. Hari Jum'at yang barokah, bukan begitu, Bu?

Selamat atas kelahiran Cello ya, Bu. Semoga Cello tumbuh menjadi gadis solehah yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Yang membanggakan orang-orang di sekelilingnya. Yang selalu membawa kebahagiaan pada siapa saja yang mengenalnya. Untuk saat ini, maafkan jika hanya doa yang mampu saya beri untuk Cello. Ibu dan Cello jaga kesehatan, ya. Semoga keadaan Ibu setelah melahirkan lekas membaik. Sampaikan salam saya untuk Divo dan ayahnya.



Surabaya, 13 Februari 2015.
Dari salah satu mahasiswi yang menganggap Ibu keren.

Kamis, 12 Februari 2015

Kesalahan Terindah #14


Surat ini untukmu yang pernah berkata, "Seandainya kita dipertemukan lebih awal."
Hingga detik ini, aku masih terngiang ucapmu. Terngiang getar yang terasa pada suaramu yang lirih. Terngiang hela nafas yang berat. Terngiang jeda yang panjang.

Momen itu. Momen di mana pertarungan dalam diri terjadi sedikit terlalu sengit. Walau hati terasa berat melepasmu, otakku tetap bersikukuh untuk membiarkanmu pergi. Tak peduli betapa besar keinginan egoisku untuk mendekapmu, logika sehatku selalu menang. Ada satu bisikan yang, entah dari mana asalnya, tak pernah alpa mengingatkanku bahwa kita memang tidak ditakdirkan bersama.

Takdir? Kau pernah berkata padaku bahwa kau tak percaya takdir. Seketika itu, aku menautkan alis, siap mengajakmu berargumen. Setelah debat panjang yang menghabiskan dua gelas cokelat panas dan segelas cappuccino yang kita pesan, kita sepakat bahwa kau dan aku tidak harus mempermasalahkan ini. Kau bilang, kita sudah menarik begini adanya; kau dengan prinsipmu dan aku dengan teoriku. Tapi, dasar kita. Rasanya pertemuan-pertemuan berikutnya yang terjadi kurang sah tanpa adanya sedikit argumentasi. Yang justru berakhir dengan senyuman di kedua sisi.

Kau satu-satunya lelaki yang membuatku betah berlama-lama mendekatkan ponsel ke telinga. Padahal, kau tahu kan, aku tidak pernah suka menerima panggilan telepon kecuali untuk hal-hal yang sifatnya mendesak. Tapi, dasar kau. Bisa-bisanya kau membujuk hati untuk terus mendengar suara serakmu. Yang justru membuatku merasa kehilangan saat namamu tak kunjung muncul dalam layar ponselku.

Aku tidak pernah menyesali keputusanku memintal memori denganmu. Hidupku terasa lebih semarak dengan warna yang kau rajutkan pada hari-hari. Tak dipungkiri, hadirmu membawaku pada dunia baru, dunia yang belum pernah kudatangi. Namun kemudian warna-warna itu memudar, seiring dengan hambatan yang kian hari kian membentang. Kau selalu yakinkan aku bahwa kita bisa lewati ini, bahwa kau tidak pernah menyalahkanku. Kau tidak pernah menyalahkan dia. Kau hanya berkata, semua terjadi di saat yang tidak tepat. Tapi, dasar aku. Aku tak ingin kau menyalahkan dirimu sendiri, apalagi sampai menyalahkan takdir. Yang justru mengantarkan aku pada perpisahan itu; perpisahan kita.

Aku masih ingat betul hari di mana aku, dengan berat hati, harus memandangmu untuk terakhir kalinya. Mendengar suaramu untuk terakhir kalinya. Merajut kenangan untuk terakhir kalinya. Malam itu, kau mengajakku ke sebuah tempat. Aku ingin perpisahan ini kau kenang selalu, katamu. Maka, di sanalah aku duduk. Memerhatikan petikan-petikan senar gitarmu. Mendengarkan alunan nadamu. Menangis dibunuh detil lirik yang keluar dari bibirmu.

Semakin ku menyayangimu,
semakin ku harus melepasmu dari hidupku
Tak ingin lukai hatimu lebih dari ini,
kita tak mungkin trus bersama...

Terima kasih untuk tiga bulan yang membuatku kembali hidup. Terima kasih untuk membiarkanku merasakan dunia yang berbeda. Terima kasih untuk perasaan yang masih tersisa. Terima kasih, Ezra.



Surabaya, 12 Februari 2015.
Dari yang diam-diam (pernah) ingin merebutmu.

Rabu, 11 Februari 2015

Untuk Kalian, Geng! #13


Surat ini adalah surat ketiga belas dari tiga puluh surat cinta yang akan kutulis. Surat yang seharusnya sudah kukirimkan paling tidak tiga jam yang lalu, justru baru kutulis sekarang. Rupanya hari ini terlalu menyenangkan, sampai-sampai terpikir hal lain selain kegembiraan yang sedang terjadi pun tak sempat.

Hari ini adalah salah satu dari sekian banyak hari yang akan kurindukan selepasku meninggalkan kampus perjuangan. Gelak tawa, riang canda, bahkan ejekan kecil yang terlontar akan sangat berarti. Di masa depan, mungkin akan sulit menemukan waktu yang tepat untuk menikmati hari seperti yang kita --aku dan teman-teman perempuanku-- lakukan tadi.

Bahagia memang sederhana. Sesederhana kepuasan batin yang didapat saat menghabiskan waktu bersama. Persis seperti apa yang pernah diucap John Lennon, "Time you enjoy wasted, was not wasted."



Surabaya, 11 Februari 2015.
Dari yang bahagia mengenal kalian.

Selasa, 10 Februari 2015

Unconditional #12


Mungkin tulisan ini lebih tepat bila disebut sebagai memo kecil dibanding surat. Tujuanku menuliskannya sebagai pengingat pada diri, dan juga kau tentunya, bahwa aku sangat menyayangimu.

Pagi tadi aku terbangun dengan sebuah mimpi buruk. Seketika saja aku terduduk dengan nafas yang memburu. Gelisah, seakan sedang dikejar sesuatu. Untuk beberapa detik pertama aku terdiam, kemudian di detik berikutnya tak henti kuucapkan istighfar berulang kali. Dadaku rasanya sakit, ingin sekali kutumpahkan air mata. Namun nyatanya tak bisa. Saat kesadaranku pulih bahwa semua yang kualami hanyalah bunga tidur, langsung kucari ponselku. Ingin meneleponmu tapi ku tahu kau sangat sibuk pada menit itu. Kutinggalkanlah pesan singkat untukmu.

Beberapa jam berlalu, aku mulai memahami bahwa apa yang kualami adalah fana. Tak nyata. Walau entah mengapa terasa begitu riil. Kutengok kembali layar ponselku, membuka pesanmu yang tak sempat kubaca. Di antara tiga baris yang kau tulis, aku baru sempat membaca barisan teratas. Katamu, kau selalu memaafkanku, bahkan ketika aku belum memintanya. Lalu ponselku berdering.

Kau selalu menjadi orang pertama yang akan mendengar segala suka dukaku. Juga menjadi orang pertama yang menyabet gelar sebagai sahabat terbaikku. Kau selalu ada untukku, tahu kapan aku butuhkan belaian lembut setelah sepanjang hari merengut. Tak pernah lelah menegur kesalahanku, dan tak henti menjadi penyemangat tiap aku merasa penat.

Terima kasih karena selalu berada di sana, Mama. Maaf untuk semua kesalahanku padamu.



Surabaya, 10 Februari 2015.
Dari yang menjadikanmu role model.

Senin, 09 Februari 2015

Ucapan yang Terlambat #11


Harusnya aku menuliskan surat ini 2 Februari lalu, mengingat hari itu merupakan hari spesial buatmu. Entah apa yang kupikirkan saat itu. Bisa-bisanya aku melewatkan yang istimewa bagimu.

Aku tidak tahu harus bagaimana menghubungimu. Semua kontakmu hilang begitu saja. Keberadaanmu seakan lenyap ditelan senyap. Hening. Tak ada lagi kegembiraan yang selalu kau berikan dulu. Tak ada lagi canda, tawa, pun duka yang kerap kau bagikan padaku. Sepi.

Bukan aku bermaksud mencampuri hidupmu, hanya saja aku merasa tak biasa dengan ketiadaanmu. Kau inspirasi atas baris demi baris yang kutulis. Tapi mengapalah sekarang justru kau yang menghilang, mengabaikan huruf huruf buah pikiran. Mungkin saja mereka merindukan tarian pada jemarimu. Kau tak pernah tahu kan, berapa besar akibat yang kau sebabkan karena ide-ide yang kau tuang. Kau juga tak pernah tahu, berapa besar kau membuka mataku; menginspirasiku.

Untuk dua puluh tiga tahunmu, aku layangkan harap agar kau selalu bahagia. Agar tak ada lagi umpatan-umpatan atas ketakadilan yang kau rasa. Agar tak ada lagi tetes air mata yang menggenang karena rasa rindumu pada sosok ibu. Untuk doa lain yang kau sematkan, tak akan lupa aku aamiin-kan.

Selamat ulang tahun, Dr. Hyde. Semoga senyum selalu terlukis di wajahmu.



Surabaya, 9 Februari 2015.
Dari yang menunggu kemunculanmu.

Minggu, 08 Februari 2015

Untuk yang Minta Dibuatkan Surat #10


Dengan ini, kupenuhi janjiku menuliskanmu sebuah surat, hai cowok yang (katamu) ingin serius denganku. Maafkan kalau kalimat yang tergores di sini tidak seindah yang kau harapkan.

Kemarin katamu, duniaku dan duniamu akan benar-benar menyenangkan bila disatukan. Bukan maksudku menilai duniamu, hanya saja aku belum mengenal duniamu. Bukan aku tak setuju kalau kau seorang yang asyik. Ya, comic mana sih, yang tak mampu buat suasana jadi lebih menarik?

Mungkin kau terlalu terburu-buru memproklamirkan keseruan yang akan terjadi bila dunia kita dipertemukan. Aku pun merasa kau belum sepenuhnya memahami duniaku, memahamiku. Bagaimana mungkin kita bisa saling memahami kalau nyatanya obrolan tatap muka kita hanya berlangsung satu kali? Bagaimana mungkin kita bisa seyakin itu akan mencipta dunia penuh warna kalau nyatanya kita tak pernah benar-benar tau apa yang telah masing-masing kita lalui?

Kemarin katamu, aku sulit membuka hati hingga akhirnya kau temukan orang lain. Ada satu hal yang sepertinya belum kau ketahui tentang aku: aku bukan tipikal wanita yang mudah mempersilakan banyak hati untuk sekadar mengintip ruang kosong dalam dada, apalagi memasukinya. Sekali waktu aku pernah dikecewakan, dibuat remuk habis-habisan. Dan bagiku, bukan perkara mudah untuk membangun kembali gubuk kepercayaan pada sesiapa yang mencoba setelah berulang kali dihujani batu-batu tajam. Dengan alasan itulah, aku mulai membuat konstruksi dinding-dinding perkasa yang melindungi sisa-sisa kepercayaan yang masih ada; menunggu seorang yang bisa runtuhkan semua.

Kutegaskan: membangun keyakinan akan sebuah hubungan tidak semudah itu, mas.

Kalau kau sudah temukan dia yang lebih leluasa membuka hati dibanding aku, mungkin kau bisa coba selami dunianya. Maksudku, itu akan terasa lebih mudah bila dibandingkan dengan usaha yang harus kau lakukan untuk menjebol pertahanan yang kubuat. Kau orang yang baik, tentu aku akan berbahagia untuk kebahagiaan orang-orang baik.



Surabaya, 8 Februari 2015.
Dari yang tidak menutup hati.

P.S.: Akan lebih menyenangkan kalau kau coba balas suratku, mas. :))

Sabtu, 07 Februari 2015

Tersenyumlah #9


Dunia ini seimbang. Kebahagiaan dihadirkan setelah kesedihan. Kesehatan dihadirkan setelah kesakitan. Cinta dihadirkan setelah benci. Pun sebaliknya. Yin dan yang.

Aku ingat saat kau bercerita padaku tentang dia yang tiba-tiba saja meninggalkanmu. Kau tak pernah siap kehilangannya. Menurutmu, kau sudah serahkan seluruh hati padanya. Tak tersisa apapun dalam rongga dadamu kini. Kosong. Hampa. Bahkan untuk tidur dan melupakannya sejenak saja tak bisa. "Dia selalu menghantui mimpi-mimpiku," begitu katamu.

Aku ingat saat kau bilang, "Aku menyakitinya. Dan dia lakukan hal yang sama padaku." Karmakah itu? Hanya kau yang bisa jawab. Kau memang teman baikku, tapi aku tak berhak memberi penilaian apapun atas hidupmu. Meski aku pernah berada pada situasi yang sama, nyatanya aku tak pernah berjalan di atas sepatumu. Tak pernah berada pada posisimu sebagai kau. Maka yang dapat kulakukan untukmu hanyalah menjadi seorang pendengar yang baik.

Aku ingat saat kau akhirnya berhenti meratapi semua kesalahan yang pernah kau lakukan. Di sudut kedai kopi suatu sore, aku dengar kau berkata, "Hidup ini bukan untuk diratapi." Aku hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. Walau kita hanyalah dua remaja berseragam abu-abu putih kala itu, kurasa sudah saatnya kita berpikir dewasa. Tak selalu andalkan emosi dan perasaan semata. Detik itu, kau sudah memulai fasenya. Aku banyak belajar dari cerita-ceritamu yang kudengarkan.

Sekarang kau baik-baik saja. Kau sudah pahami bahwa apa yang kita miliki tak akan bertahan lama. Cepat atau lambat, semuanya akan terenggut dari genggaman. Yang harus kita lakukan selama masih bersamanya adalah menikmati waktu dengan baik dan menghargainya. Terkadang kita suka lupa diri, bertingkah sangat angkuh dengan menganggap kitalah satu-satunya pemilik. Padahal faktanya, setiap inci yang ada di dunia ini hanyalah titipan. Sebagai pemilik sementara, apa yang akan kita lakukan padanya ada di tangan kita: menjaga sebaik-baiknya atau menyia-nyiakannya percuma.

Meskipun semburat kesedihan sesekali tergambar dalam wajahmu, kau tak serapuh dulu. Yang pernah kau lalui biarlah menjadi catatan dalam hidupmu. Bahwa dunia memang tak bisa direncanakan semau kita. Bahwa tidak akan ada luka yang tetap menganga. Bahwa penyesalan tidak pernah menyapa di awal cerita.
Tenang saja, kawanku. Tataplah dunia dengan senyuman. Dengan begitu, dapat kupastikan kau akan bertahan.



Surabaya, 7 Februari 2015.
Dari yang bersiap menyambut kerasnya kehidupan.

P.S.: Sebaiknya kau baca surat ini sembari mendengarkan Forever The Sickest Kids - Chin Up Kid.

Jumat, 06 Februari 2015

Kepada yang Terhebat #8


Surat ini ditujukan untuk teman terbaikku yang selalu menemani di saat-saat tak tentu. Yang selalu datang bahkan ketika aku tidak meminta. Yang selalu ada ketika aku penuh masalah. Yang selalu bertahan walau seringkali kuusir diam-diam.

Saat ini aku sedang bersamanya. Meski sesungguhnya kehadirannya tak kuharapkan, ia tetap tak pernah absen mengunjungiku. Seolah tak ingin melewatkan satu hari saja tanpaku.

Aku tidak tahu mengapa kau tetap bertahan. Segala jenis kafein sudah kugunakan. Tapi kau tak pernah gentar. Seolah tak ada satu hal pun yang dapat menghentikanmu. Tidak dengan obat termahal. Tidak dengan kopi terpanas. Tidak dengan cokelat terpahit.

Ya.
Surat ini untuk yang paling hebat. Untuk yang tidak pernah menyerah walau diberi gempuran dari segala arah.
Surat ini untukmu, migrain.



Surabaya, 6 Februari 2015.
Dari yang kesulitan mengabaikan kehadiranmu.

Kamis, 05 Februari 2015

Kau Tahu Ini Apa #7


Rindu memang bikin candu. Baru sehari berlalu, hati sudah tak sabar ingin segera bertemu. Tenang, untuk urusan menahan perasaan, bisa dibilang aku jagoan.

Seperti katamu, "Kita hanya dipisahkan jarak dan waktu. Tapi hati kita tetap satu."
Aku tak ingin menulis surat yang panjang, hanya ingin sedikit mengenang. Kau tentu masih ingat, tiga hari lalu saat kau dan aku berjalan di taman dengan semua kerindangan yang ditawarkan pepohonan. Atau, seminggu yang lalu saat kita saling berebut es krim. Oh, kau pasti ingat yang satu ini: perjumpaan pertama kita yang lucu. Saat itu, kita tak sengaja mengambil buku yang sama di sebuah perpustakaan kota. Kau, tentu saja, menyerahkan buku itu padaku. Tapi aku tak serta-merta menerimanya. Melihat kita yang 'berisik', penjaga perpus pun menengahi. Perdebatan siapa-yang-memegang-buku-pertama-kali diakhiri dengan kita yang menertawakan kekonyolan ini.

Ah, sebaiknya aku berhenti memutar ingatan. Bukannya mengobati kerinduan, malah semakin memperburuk keadaan.

Segeralah kembali ke peraduan. Aku ingin rasakan hangatnya pelukan.



Surabaya, 5 Februari 2015.
Dari yang mencoba membunuh waktu.

Rabu, 04 Februari 2015

Pertemuan Pertama dengan Yang Lama Dicari #6


Aku masih ingat hari itu. Jum'at, 7 November 2014. Siang itu, dengan langkah sedikit ragu, aku berjalan menuju lobi tempat dilangsungkannya sebuah seminar di mana kau menjadi penyelenggaranya. Aku? Aku dikontak oleh sang master of ceremony untuk bertugas sebagai terima tamu. Kekurangan personil, katanya. Saat itu aku yang sedang tak ada kesibukan, tentu saja mengiyakan. Anak kos mana sih yang menolak rejeki?

Maka, di depan pintu masuk lah tempatku bekerja. Sebelum mulai melaksanakan tugas, mbak master of ceremony mengenalkanku dengan beberapa orang yang bertanggung jawab atas acara itu. Selepasnya, aku duduk saja, mencarikan nama pada daftar hadir, membagi kupon door prize, dan memberi senyum paling ramah pada setiap ibu, bapak, mbak, dan mas yang datang.

Bangku di mejaku tersedia untuk dua orang. Tetapi karena aku bekerja sendiri, jadilah kursi di sebelahku kosong. Hingga akhirnya kau datang, dan tanpa basa-basi duduk di sebelahku. Aneh, aku tak melihatmu di antara orang-orang yang diperkenalkan padaku tadi. Namun sepertinya kau berperan penting dalam kelangsungan acara itu. Dengan kamera Nikon yang kau bawa, aku dapat menebak posisimu saat itu yang langsung menjawab pertanyaanku akan, "Kenapa aku nggak ditugasin buat dokumentasiin acara aja, ya?"

Itulah pertemuan pertamaku denganmu. Pada menit-menit awal, terkesan biasa saja memang. Kau mengajakku bicara, saling menyebutkan nama, dan bertanya hal-hal basi selayaknya orang yang baru berjumpa. Kupikir perkenalan ini akan berjalan seperti perkenalan-perkenalanku dengan orang baru pada umumnya. Tapi, tidak denganmu. Entah bagaimana, tiba-tiba saja pembicaraan kita tidak bisa disebut basi. Bermula dari pertanyaan, "Kuliah di mana?" yang berakhir dengan cerita seru mengenai hobi kita yang ternyata sama. Kau bercerita tentang saat-saat SMAmu, aku bercerita mengenai kedudukanku sebagai mahasiswa tingkat akhir. Membicarakan persoalan kuliah, kau membuatku terkejut dengan kalimat, "Aku dulu mahasiswa teknik komputer. Nggak nyambung ya, sekarang kerjanya di bank? Nggak nyambung juga ya sama hobi fotografiku?"

Obrolan kita pun berlangsung seru. Aku bahkan tanpa sadar sudah berani melemparkan ejekan-ejekan yang biasanya hanya kulontarkan pada teman yang kukenal sejak lama. Begitupun kau. Obrolan kita berlangsung sangat akrab, apalagi dengan banyaknya kesamaan yang kita punya. Game yang kumainkan ternyata kau mainkan juga, padahal tak semua orang mengetahuinya. Perdebatan mengenai kamera juga tak terhindarkan. Saling berbagi pengetahuan kita lakukan. Saking serunya, kita berdua seringkali tanpa sadar tertawa mengejek satu sama lain, bertukar pandang saat mendengarkan masing-masing kita bercerita, hingga peserta seminar yang lewat menatap kita dengan pandangan penuh curiga. Di titik itu, aku merasa dipertemukan dengan seorang kakak yang sudah terpisah sekian lama.

Semua ini berlangsung mulus-mulus saja, kau bahkan memberiku kontakmu. Sudah lama aku tak memiliki kawan bicara seasyik ini. Apalagi dengan fisik yang menarik, aku bisa sangat betah berlama-lama mendengarmu bercerita sambil sesekali mencuri pandang.
Sampai satu panggilan telepon. Dan satu permainan pada smartphone yang kau tunjukkan padaku.
Kau bilang, "Istriku juga suka banget main ini."
Ya. Is-tri.
Belum selesai rasa kagetku, kau juga membuatku tak percaya dengan jawaban yang kau beri atas pertanyaanku, "Aku nggak mainin game ini. Yang mainin biasanya anakku."
Ya. A-nak.

Oalah, mas.
Padahal aku sudah terlanjur bahagia menemukanmu.
Padahal aku sudah terlanjur bahagia menemukan orang yang sangat nyambung denganku.
Padahal aku sudah terlanjur bahagia menemukan sosok mas-mas ganteng yang nggak sok ganteng.
Tapi, ya sudahlah. Tuhan memang sangat mengenalku, dikabulkanNya keinginanku untuk merasakan bagaimana hangatnya seorang kakak laki-laki.

Pertemuan pertama kita yang berlangsung tidak lebih dari enam jam itu memang memberi banyak sekali kesan, mas. Semoga kita dipertemukan lagi di hari lain, ya! Jangan lupa kenalkan aku dengan istri dan anakmu yang lucu itu.



Surabaya, 4 Februari 2015.
Dari yang menganggapmu mas-biologis-walau-beda-bapak-ibu.

Selasa, 03 Februari 2015

Bicara Hujan. Dan Kenangan. #5


Aku suka sekali dengan hujan. Mereka bilang, hujan selalu membawa kenangan. Aku setuju. Titik demi titik yang hujan turunkan, tak pernah gagal menghadirkan indah kenangan.

Pun hari ini.
Tak hanya hujan yang mengguyurku sore tadi. Memori enam tahun silam seakan tak mau kalah menghujam ingatanku keras. Tetiba saja ia hadir, terputar jelas. Bagaimana bisa seseorang yang memiliki ingatan seperti ikan mas justru teringat setiap detil peristiwa enam tahun lalu?

Hujan memang ajaib.

Aku ingat, bagaimana khawatirnya kau saat tanpa diduga rintik hujan mulai turun. Saat itu, aku yang sedang berlindung di balik punggungmu yang bidang, berusaha menghindari sentakan-sentakan air hujan. Kemudian kau berkata, "Kamu nggak apa-apa? Kalau kedinginan, peluk aku aja."
Ih, dasar tukang gombal! begitu pikirku. Tentu saja aku tak akan memelukmu, kita kan tak ada ikatan. Tapi dari sudut spion kanan yang kuintip, tidak ada raut muka melucu darimu. Saat itu aku masih bodoh, selalu melewatkan perhatian kecilmu.

Hingga akhirnya muncullah kenangan berikutnya. Di hari lain, kau berkunjung ke rumahku. Bersama teman-teman kita. Entah apa yang membuatmu bersungut, tapi aku melihat wajahmu yang cemberut. Diam, tak biasanya. Masih dengan kebodohanku, aku percaya saat kau bilang kau baik-baik saja. Lalu pamit pulang. Teman-teman kita yang lain mulai panik, tahu bahwa kau bukanlah tipe orang yang mudah naik darah. Satu per satu dari mereka coba menghubungimu, dan jawaban yang mereka terima sama: "Aku hanya ingin pulang."

Khawatir, salah satu teman kita memandangku. Teman dekat kita secara entah bagaimana, berhasil meyakinkanku untuk menghubungimu dengan, "Kalau kamu yang ngomong, dia pasti mau. Dia nurutnya cuman sama kamu."

Bodohnya, aku tak pernah sadari semua pertanda kecil itu hingga beberapa tahun kemudian. Saat kita berdua sama-sama terikat suatu hubungan. Yang membuatku semakin terkejut adalah hari jadian masing-masing kita yang hanya berselang dua hari.

Betapa ajaibnya hujan dengan tiap jengkal kenangan. Seakan tak ingin luput menyapa dengan lembut. Andai saja kenangan dapat terulang, tentu aku akan menyambut hujan dengan hati riang.



Surabaya, 3 Februari 2015.
Dari yang tidak membenci kenangan.