Sabtu, 13 Juni 2015

#29. Kau Yakin?

Hai, Sayang.
Sudah sekian lama kau mempertahankan rasa nyamanmu; kesendirianmu. Aku tahu, dalam kurun waktu selama itu, kau memang sengaja tidak mempersiapkan ruang kosong di sana untuk siapapun. Aku juga tahu kalau kau tidak ingin mencari kunci untuk membuka pintu yang sengaja kau tutup rapat-rapat, bukan begitu? Aku pun tahu, banyak yang datang menawarkan bantuan untuk membersihkan sisa-sisa puing pada kekosongan itu. Bermanis-manis dengan harapan dapat memberimu kunci yang tepat. Namun kau tidak bergeming, dengan mantap membuat mereka berpaling.

Tetapi, bagaimana kabarmu kini, Sayang? Telah yakinkah kau akan kunci yang saat ini berada dalam genggaman?

Beberapa orang terkejut dengan keputusanmu mengambil kunci yang ditawarkan olehnya. Ini bukan seperti kau yang kukenal. Aku terlalu mengenalmu untuk kemudian berusaha memahami apa alasan di balik keinginanmu menerima kunci ini. Pintumu terlalu rapat, Sayang. Tidak sembarang kunci dapat membukanya.

Sejujurnya kukatakan, aku masih melihat garis-garis keraguan pada raut wajahmu kala kau mencoba membuka pintu. Apakah ini kunci yang tepat? Apakah aku tak akan menyaksikan ruang ini runtuh lagi, meninggalkan puing-puing? Apakah kunci ini akan menuntunku menuju sebuah rumah? Pertanyaan-pertanyaan itu dengan jelas kusaksikan saat menatap kedua matamu.

Dengan kunci yang ada pada tanganmu sekarang, itu berarti kau harus membuat satu keputusan: entah mencoba membuka pintu itu dan membuktikan apakah yang kau genggam saat ini memanglah kunci yang tepat, entah membuang apa yang kau genggam saat ini jauh-jauh dan menjaga pintu itu tetap rapat hingga temukan satu yang mampu membukanya. Jangan ragu, yakinkan dirimu, Sayang. Kau tak perlu terburu-buru, nikmati saja waktu yang ada.

Sekali lagi kuingatkan, tak perlu terburu-buru. Aku tak ingin kau menyesali keputusanmu di kemudian hari, apalagi sampai melihatmu membereskan puing-puing baru. Sudah cukup aku melihatmu terseok, susah payah membangun kembali apa yang telah hancur. Jangan lagi ada yang sengaja merusak apa yang kau bangun selama ini.

Janganlah kau genggam kunci itu terlalu erat, Sayang. Santai saja. Teguhkan dulu keyakinanmu. Kalau kau sudah mantap ingin membuka pintumu dan merobohkan tembok-tembok yang menghalanginya, lakukan saja. Masukkan kunci itu.
Namun jika kau rasa ini bukanlah hal yang benar, kau boleh lemparkan kunci itu jauh-jauh.

Aku di sini mendoakanmu, Sayang. Untuk segala upayamu menjaga diri agar tak lagi tergores. Untuk segala keputusan terbaik. Untuk segala kebahagiaan batinmu.


Tertanda,
Yang paling mengenalmu.

NB: Semoga ada yang berkeinginan membantumu merobohkan dinding-dinding kokoh itu dengan senang hati dan tanpa paksaan, ya.

Sabtu, 28 Februari 2015

Last But Not Least #30


Sore di penghujung Februari kuhabiskan dengan segelas kopi panas dan lantunan tembang milik Adhitia Sofyan yang judulnya menggambarkan cuaca kotaku saat ini, After the Rain. Tak terasa, sudah tiga puluh hari aku menuliskan pucuk demi pucuk surat cinta. Tiga puluh hari pula kau dengan sigap mengantarkan kata-kata cinta dari dan untuk para pecinta.

Aku pasti rindu saat-saat di mana aku harus temukan orang yang akan kutulisi surat. Saat-saat di mana tenggat waktu pengiriman surat tinggal beberapa menit dan aku belum memiliki ide akan kata-kata cinta yang harus tersusun. Saat-saat di mana aku menunggu komentar sang pengantar surat di kolom paling bawah tiap surat-suratku.

Kau selalu membaca rangkaian kata yang kutulis. Juga yang ditulis para pecinta lainnya. Setiap hari. Tanpa lelah. Tanpa keluhan. Tanpa luput meninggalkan satu dua kata semangat pada kolom paling bawah surat-surat. Di sela kesibukanmu, kau tidak melupakan kami para pecinta. Kau membuat kami merasa dihargai, merasa diapresiasi. Suntikan semangat darimu untuk tetap giat menorehkan kata cinta; itulah yang membuatku, kami, terpacu untuk menuntaskan program ini dengan sesempurna mungkin: mengirim tiga puluh surat tanpa jeda bahkan satu haripun.

Aku sangat berterima kasih atas waktu yang kau sisihkan untuk surat-surat kami. Kutahu itu tidak mudah. Bisa jadi malah sedikit memusingkan, membaca sekian banyak tumpukan surat yang entah berisi curhatan (seperti mayoritas suratku) entah berisi ungkapan. Sepenggal terima kasih saja rasanya tak cukup untuk membalas jasamu 'mengantarkan' surat-surat kami selama tiga puluh hari terakhir ini. Ah, andai saja aku dapat menghadiri kopi darat esok dan memelukmu, aku pasti akan memelukmu erat dengan bertubi-tubi terima kasih.

Namun, sementara ini, izinkan aku untuk mengucap terima kasih walau hanya melalui surat, kak Ika. Terima kasih karena mengapresiasi tiap huruf yang kami coretkan dalam surat-surat cinta ini. Terima kasih karena telah menjadi tukang pos yang sangat istimewa. Terima kasih karena menjadi jembatan untuk kami ungkapkan perasaan. Terima kasih untuk semua yang telah kau sempatkan, kak. Semoga aku bisa membalas kebaikanmu suatu saat. Sukses untuk segala cita dan cintamu. Ku-aamiin-kan segala semoga yang diterbangkan untukmu. Sampai jumpa tahun depan, kak Ika. Sekali lagi, terima kasih.


If somewhere down the line,
we will never get to meet...
I’ll always wait for you after the rain.




Pasuruan, 28 Februari 2015.
Rizky Nindy Lestari.


NB:
Tahun ini, aku mengulang keberhasilan istiqomah tahun kemarin, kak. Tak sabar ingin segera mengulangnya lagi tahun depan!

Jumat, 27 Februari 2015

Terlambat? #29


Harusnya aku tak terkejut saat kau berkata, "Aku membaca semua suratmu. Aku tahu itu untukku, meski tak pernah satu suratpun kau sebut namaku di situ."
Ya. Harusnya aku sudah mempersiapkan diri saat kutahu kau membaca semuanya. Semuanya, tak tertinggal barang satu atau dua surat. Ah, bukankah ini berarti kau membaca semua ungkapan hati?

Tapi tak ada yang lebih mengejutkan daripada kalimat-kalimatmu yang muncul setelah sebuah hening lama antara kita.
Kini kutahu, kau juga rasakan yang sama terhadapku. Bahkan jauh sebelum aku menyadari perasaanku sendiri. Haruskah aku bahagia karena kecurigaanku terhadap 'penolakan' yang kau berikan beberapa hari ini tak terbukti? Atau haruskah aku menyesalinya karena tak ungkapkan lebih awal?

Aku tak bisa putuskan mana ekspresi yang harus kupilih hingga kau membuka suara; menyusun kata menjadi cerita yang menggores hati perlahan, tanpa henti. Aku bahkan bisa rasakan sayatan-sayatan yang tak hasilkan darah, dengan pedih yang sangat nyata. Luka ini membelenggu bibirku, menahannya untuk tak lontarkan kalimat kesakitan. Tenggorokanku tercekat, ingin teriakkan kesedihan walau tak mampu. Mataku berat menggenggam bongkahan air mata yang kupaksa untuk tinggal. Jangan jatuh, kumohon. Namun mau tak mau, getar yang timbul dari kedua bahu membuatnya terlepas. Detik itu juga, kubiarkan tetesan ini mengalir deras. Kubuka genggaman akan semua gundah hingga lega. Walau pada akhirnya, hatiku semakin terluka.

Kau bilang, kau tak ingin menceritakannya padaku karena kau masih simpankan aku ruang dalam dada. Kau bilang, kau tak pernah yakin, apakah aku rasakan hal yang sama ataukah hanya perasaanmu saja. Kau bilang, ingin rasanya mendekapku erat sebelum semua ini terjadi.
Sebelum kau tahu perasaanku.
Sebelum kau putuskan untuk bersamanya.

Aku... terlambat.

Saat ini kau telah berdua. Tak lagi sendiri. Tak lagi bisa sempatkan waktumu untukku kapan saja. Tak lagi ada kemungkinan untuk kita bersama.

Tidak apa-apa. Menyayangimu sebagai seorang teman saja sudah menjadi hal yang istimewa. Aku yang keterlaluan, menodai pertemanan kita dengan ungkapkan apa yang tak seharusnya diungkapkan. Berbahagialah bersamanya. Aku di sini mencoba untuk tulus mendoakan bahagiamu. Meski bukan aku yang menemanimu.

Hapuslah cinta antara kita berdua,
karena kau sudah ada yang punya.
Biarlah diriku memendam rasa ini...
jauh di lubuk hatiku.



Pasuruan, 27 Februari 2015.
Dari yang (masih) menyimpan harap.

Kamis, 26 Februari 2015

Mbuh. #28


Aku ingin teriak. Lepaskan tumpukan amarah dalam dada. Legakan bulir-bulir emosi yang berjejalan tak karuan. Geramku sudah cukup beralasan untuk tautan alis yang timbulkan tikungan tajam. Nafas yang memburu seolah menjadi penanda betapa jengkelnya hati ini.

Aku tak tahu berapa banyak alasan lagi kau ucap tiap kecewakan diri. Aku sudah bosan. Aku bahkan tak tahu harus pekikkan apa untuk perasaan yang berkecamuk. Bicara denganmu toh percuma saja, buang buang waktu.

Dengar, kau tak seberharga itu untuk waktu-waktu berhargaku. Jangan terlalu percaya diri. Aku tak menyesalimu, aku menyesali waktu yang kubuang demi seorang kau.



Surabaya, 26 Februari 2015.
Dari yang (akhirnya) marah.

Rabu, 25 Februari 2015

Untuk Ingkarmu #27


Mungkin kau sudah bosan mendengar cerita perihal perubahan yang kurasa pada lingkunganku, pada teman-temanku. Ribuan pertemuan kita lewati dengan keluh kesah mengenai ketidakadilan yang kurasa pada situasi A, mengenai kejamnya persaingan yang kualami pada situasi B, ataupun kegelisahan lain pada waktu dan tempat berbeda dengan persoalan yang masih sama.

Aku ingat pernah merajuk agar kau tidak mengubah diri seperti tokoh-tokoh yang ada pada setiap ceritaku. Aku juga ingat kau pernah berjanji untuk tidak akan berubah, sekalipun dunia berusaha mengubahmu. Aku tak akan lupa bagaimana raut wajahmu terlihat begitu meyakinkan, hingga membuatku percayai janjimu dengan mudahnya. Aku masih memegang janjimu sampai saat itu tiba; saat di mana aku merasa ada sesuatu yang mengubahmu.

Haruskah ku katakan kau ingkari janji, atau justru aku yang harus instropeksi?
Ya. Bisa saja aku yang berubah. Bukan kau. Bukan juga mereka yang selalu kusebut dalam tiap sesi bercerita denganmu.

Terlepas dari siapa yang berubah, satu kesimpulan kudapat: semua orang berubah. Tidak satupun hal dapat mencegahnya. Tidak satu kalimat janji yang kau ucapkan dapat mencegahnya.

Kau beriku alasan, 'Aku sedang mencoba mengerti diri sendiri, sebelum aku bisa mengertimu.' saat aku bertanya-tanya akan perubahanmu.
Haha. Kau bukan pembohong yang handal rupanya. Kau tahu, aku tahu, dunia tahu, bahwa hanya kau yang paling mengertiku. Yang paling memahamiku melebihi diriku sendiri. Tidakkah kau masih ingat, siapa yang pertama kali menawariku tempat untuk tumpahkan beban saat aku justru terlihat sangat baik-baik saja dengan senyuman paling ceria yang kutampakkan? Tidakkah kau masih ingat, siapa yang berkata, "Matamu tidak menampakkan kebahagiaan. Tidak usah berusaha tegar." saat aku menyambutmu dengan senyuman paling lebar?
Hei, itu kau. Itu kau yang mengerti segala titik kecil pada diri. Itu kau yang mengerti perasaan hati. Kau sangat mengertiku, tak usah kau coba bohongi aku dengan memberi dalih yang dapat terbantahkan dengan begini mudah. Akuilah, kau (atau mungkin aku) memang berubah. Tak usah beri penjelasan mengenainya.

Apapun alasanmu mengingkari janji, aku harap itu bukan karena hal-hal yang kita lalui beberapa hari ini.



Pasuruan, 25 Februari 2015.
Dari yang tak lagi merasa sama.


NB: Aku punya satu lagu untukmu selagi kau baca surat ini: Keane - Everybody's Changing.